Kamis, 11 Februari 2010

Syukur Penawar Keluhan


Sudah dua hari berturut-turut saya merasakan penderitaan terbesar umat pengendara motor di Indonesia. Ya, mogok. Kali ini, sebabnya sepele. Bukan bensin ngedrop atau ban gembos. Tapi justru salah satu sumber kehidupan mahluk hidup dan background yang sering dipake film-film romantis: hujan.

Di musim hujan ini, setiap kali saya memarkir motor di area terbuka, pulangnya selalu bawa oleh-oleh terburuk. Mulai mogok, menuntun jarak jauh, dan dompet terkuras bayar ongkos servis dadakan. Itu sudah satu paket. Mau nggak mau, kudu angguk-angguk kepala..

Kejadian yang paling parah, sih, terjadi minggu lalu. Siang itu saya dan sahabat cewek pengin rapat. Tapi ada ide, kita pengin ganti suasana. Ya, kami yang sama-sama anggota organisasi mahasiswa di kampus, kok ya, kebetulan eneg massal dengan suasana kampus. Langsung, cabuuut.

And, the Oscar goes to...

KFC Ahmad Yani, Surabaya!
Itu adalah gerai fastfood terfavorit temen-temen mantan kantor (ups!) saya. Bukan apa-apa. Letaknya kebetulan persis di sebelah si mantan itu. Tapi jam bukanya itu yang bikin kami kepincut. Tebak, restoran mana, yang cepet penyajiannya, yang mampang menu goceng-an, dan yang siap meladeni mulut-mulut workaholic 24 jam yang satu strip di bawah gila itu? Sembunyi dari editor di jam kerja, kaburnya ke tetangga paling baik di dunia itu. Ha ha.

Parkiran di situ benar-benar terbuka..ka..ka... Nggak ada atap. Bahkan pohon kangkung. Panasnya minta ampuun. Tapi waktu maghrib, kami dapet bonus hujan. Ting tong, seratus!. Itu yang bikin motor saya untuk itungan biji pasir Kute lagi-lagi kebanjiran. Jarum jam sudah bertengger di angka delapan dan betis ini harus kerja rodi lagi *sambil ngelus-ngelus*

Tukang tambal ban, si dewa penolong itu, bikin makin tajam tanduk. Mereka cuti
massal. -Oke, terimakasih buat senyumnya-

Dulu, hampir pasti mereka standby di setiap belokan terdekat. Mungkin waktu itu, bini-bininya lagi brojol barengan. Seems like korban kawin massal, kali. Semua pulkam serentak. Oke, it means, saya harus kerja rodi plus romusha di tengah malam. Menuntun dan teruuus menuntun.

Puas jalan nyaris satu kilometer, saya baru menemukan tanda-tanda kehidupan mereka. Err, wait, satu kejutan tersisa. My savior itu berada di ujung salah satu gang yang banjirnya selutut. Oh, God, perasaan semalem hamba nggak mimpi air bah.

Jarum jam sudah berputar 720 derajat. Alhamdulillah, saya memetik hasilnya. Yay, motor saya pulih!

Kata pak-nya, penyebabnya ada di TKP yang sama. Air ujan masuk, terus membunuh korbannya, karburator. Hebatnya, nggak ada pasal berlapis yang bisa menghentikan aksi pelaku. Aduh, ribetnya. Intinya nggak ada yang bisa diakali. Paling aman, jangan sok-sok an markir di alam terbuka.

Di jalan, sambil melamun-melamun lepas, saya merenungi nasib.

Alhamdulillah, saya masih mending. Basah kuyupnya cuma selutut. Ratusan pengungsi gempa Padang masih nggak bisa tidur setiap hujan mengguyur tendanya.

Untunglah, saya masih mending. Di dompet masih ada beberapa lembar kertas hijau dan merah. Di Bangkalan, kuli batu harus menempuh satu kilometer dulu demi seratus rupiah. Itu pun per satu batu yang beratnya tiga kilogram.

Syukurlah, saya masih mending. Dianugrahi kendaraan dan cuma disuruh rajin servis. Tetangga saya harus ganti minimal tiga bemo untuk ngantor tiap harinya. Belum macetnya, borosnya, dan tekanan batin kalau pak supir bemonya makan ati karena jalannya lambat.

Memang, selain bersyukur, nggak ada perasaan lain yang nyess di hati. Tuhan selalu suka manusia yang berusaha. Dan saya merasa rugi karena dua hari ini cuma bisa mengeluh. Yang mogokanlah, yang banjirlah. Saya lupa, Tuhan masih memberi uang cukup, mesin cuci keluaran terbaru untuk baju-baju saya yang basah itu, dan keluarga serta teman yang setia menolong saya di saat saya butuh. Terimakasih, Allah..
Powered By Blogger