Rabu, 10 September 2008

Ranjau Darat si Buaya Darat

Waktu bangun tadi pagi, lebih tepatnya tiga perempat siang, aku kaget banget. Pasalnya, waktu beres-beres buat kuliahku kurang 10 menit lagi. Belum mandi, gosok gigi, masukin buku, dan lain-lain. Aku jadi inget kata-kata papa kalau beresin buku itu harus malem sebelumnya. Biar besok paginya nggak kalang kabut kayak angin ribut. Tapi dasar bandel, wejangan satu itu nggak pernah aku masukin kepala. Masuk kanan, keluar kanan lagi. Pada intinya nggak pernah masuk kepala. Hasilnya ? Hmm, jangan tanya. Setiap pagi pasti ada suara gubrak,gubruk,srak,sruk, dan suara aneh lainnya. Buku pelajaran ku kemana-mana, campur jadi satu kayak gado-gado.

Aku memang dari dulu berbagi meja belajar dengan adik tercinta. Kita berdua memang punya kebiasaan yang sama pula, sama-sama males memberskan meja belajar. Kebayang kan pasti susah banget buat milih atoupun milah yang mana buku aku yang mana buku dia. Pernah karena saking telatnya nih, aku buru-buru banget ke kampus. Mandi sudah dikebut-kebutin (masih pakai sabun lho ya), naik motor pun sudah kayak maling dikejar polisi. Sampai di kampus, memang nggak telat lah, dosen baru sama-sama naik tangga. Malah sempet nyapa juga.
Tapi, justru disinilah letak perkaranya. Begitu aku membuka tasku, yang aku lihat bukannya buku mata kuliah Statistik, malahan buku Seni Rupa punya adikku. Terkejut bin senam jantung lah aku. Untungnya aku duduk belakang (dasar orang Jowo, walau sial tetap cari untungnya). Lepaslah pengematan dosenku dari aku. Rada lega. Selesai ? Blom..

Ternyata hari itu dosenku memang sengaja nggak memberi catetan, supaya mahasiswanya lebih aktif katanya. Selama ini dia melihat mahasiswanya kurang banyak aktifitas kelas, mangkanya sekarang dia menyuruh mahasiswanya buat baca bab II. Kalang kabutlah aku. Mau baca buku, masak buku seni rupa yang aku baca. Mana kanan kiri aku orangnya rajin-rajin pula, jadi sungkan banget kalau seumpamanya harus pinjem salah satu dari mereka. Otak diputar, bagaimana caranya biarpun aku nggak bisa sekalipun, tapi ada etalase buku di atas mejaku supaya sang dosen nggak marah.

Dasar biang nya suudzon (bahasa arabnya berpikiran jelek,red). Nyokap bilang kalau kamu mikir hal yang jelek, pasti jadinya jelek juga. Terbukti !!. Si Dosen yang tadinya anteng kayak macan tidur, tiba-tiba dateng menghampiri mejaku. Dia dateng dan bertanya kayak polisi. "Mana bukumu?". Ibarat kethek (kera) ditimpuk, akupun menoleh kekanan dan kiri. bingung mau jawab apa. "Lupa bawa,Pak",ujarku. "Nah itu buku apa ? ", todongnya. Wah, dasar anak perawan berhati preman, bisa-bisanya dia melihat buku sialan itu. Padahal sudah aku sembunyiin di bawah tasku. Rupanya sampul bukunya agak mengintip eluar karena tadi buru-buru memasukkannya. "Anu,Pak. Ini bukan buku saya. Ini buku adik saya. Tadi kebawa karena buru-buru.".

Jederrr,,, langsung saja, ibarat Taufik Hidayat men-smash lawannya di Olimpiade Beijing, semprotan-semprotan dosenku keluar dan langsung mancep dipikiranku. Dia bilang kalo ini mata kuliah statistik, bukan seni rupa. Dia juga bilang kalau aku mau mengolah data pake diukir segala apa. dan segala macem-macemnya. Bukan itu saja. Akhir jam kuliahnya, aku disuruh ke ruangannya.Dasar apes, aku disuruh untuk buat makalah tentang arti statistik pada jaman kuno, bagaimana polanya, dan bagaimana orang melakukan sensus pada jaman Romawi kuno,dan sebagainya. Satu lagi, aku disuruh untuk memberi gambar dimakalah itu. Gambar harus digambar dengan tangan pula. Itu karena dihubungkan dengan seni rupanya itu. Semua gara-gara buku sialan itu. Coba kalau dari kecil aku sudah nurut apa kata Bokap, pasti nggak bakalan ada itu makalah Kesenian Rupa dari Statistik. Menjengkelkan...

-Uang merupakan hamba yang sangat baik, tetapi tuan
yang sangat buruk-

What A Wonderful Yesterday

Gila, baru pertama kali ini, aku merasakan panik banget. Kenapa nggak, masalahnya kemarin itu waktunya untuk memberi undangan event yang aku bikin, ke sekolah tujuan akhir. Nah, kalau sudah diterima undangannya sama itu sekolah, aku dapet stempel dan kontak person sebagai bukti undangan sudah nyampai ke tangan yang bersangkutan di dalam sebuah kertas. Njlalah (pasti orang sselain Jawa ngga tau bahasa ini), waktu aku mau nyerahin undangan terakhir itu,kok tiba-tiba kertas tanda bukti aku menghilang. Aku cari kemana-mana, di dalam atau di luar tas pun ngga ada.

Anehnya, tadi waktu di rumah, kertas itu sudah aku masukin rapat-rapat ke dalam tasku. Tiba-tiba hilang begitu aja. Heran,donk. Panik, pastilah !!. Gimana nggak, yang bikin kertas kumel itu berharga bak sertifikat rumah kan karena di dalamnya ada sembilan tandatangan dan stempel sekolah lain yang sudah aku datengin. Kebayang kalau hilang, berarti aku harus datengin lagi setiap sekolah dan mengemis tandatangan dan stempel sekolahnya. Iya kalau langsung diberi, waktu itu aja ada satu sekolah yang lama buanget ngasih stempelnya, hanya karena ditinggal gurunya mengajar. Aduh, bisa-bisa tua dijalan aku. Kodonglah aku (bahasa Makassar, artinya kasihan,red).

Begitu tahu kertas tanda bukti raib di depan mataku, aku langsung menelpon rumah untuk minta tolong mencarikan di rumah. Mereka bilang nggak ada dimana-mana. Waduh, sudah jatuh ketimpa tangga, kepleset pula. Sial bener nasibku. Saking nggak percaya aku sama orang rumah, aku bela-belain buat pulang demi nyari sendri kertas itu. Alhasil memang nggak ada dimana-mana. Lututku lemes banget. Ngga bisa membayangkan gimana marahnya si bos kalau kertas itu sampai hilang, apalagi karena kecerobohanku. Wahh !!1
Tapi, pepatah orang tua ku memang ngga ada matinya. Mereka bilang kalau Tuhan itu ngga pernah taidur alias tidur. Kalau kamu minta dan yakin, seaneh apapun permintaan mu pasti dikabulin. Cuma masuk akal, tapi akalnya siapa aku nggak tahu. Waktu dijalan sambil mecucu, aku minta sama Tuhan supaya kertas itu ketemu. Dalam bentuk utuh pastinya. Aku sudah mikir yang nggak-nggak, umpama kertas itu jatuh ke dalam got, ditemu orang terus dibuang ke tempat sampah karena dianggap kertas ngak jelas, sampai dibuat bungkus gorengan sama tukang gorengan.

Waktu dirumah tadi, sambil mengurangi pahal puasa dengan marah2, aku membuat lagi tanda bukti yang baru. Bener bener baru ! Kosongan tanpa ada stempel atau CP siapapun. Sambil berpiir pula kalau harus kembali ke satu persatu sekolah yang sudah aku datengin.
Dasar Dewi fortuna memang bikin happy (memangnya Dewi Persik aja yang bisa bikin happy), tiba-tiba waktu aku sudah menginjakan kaki di sekolah tempat "nyawaku" hilang tadi, tiba-tiba... TAK TAK DUK DUK DES. Aku melihat secuil bayangan (halah), alias sehelai, selembar, sebuah, atau seapapun itulah,kertas tanda buktiku yang hilang !!. TA DA !! Akhirrrrnyaa. Hufff.. Waktu aku buka tuh kertas sialan, aku melihat stempel2 nya yang membuat mataku langsung kinclong, kayak ketemu Titi Kamal lah. Seneng bukan main lah. Langsung aku sujud seketika itu pula. Legaaa rasane. Dasar Wong Jowo tenan, sudah sial, masih adja untung.

Yah, walaupun sudah mengorbankan satu buah kuliah pada hari naas itu, tapi akhirnya tetap lega. Kalau ada lagu Cinta ini Membunuhku, aku bakalan mengganti dengan Kertas ini Membunuhku. Pancene...!1


-Every man suffers pain, either the pain of hard work, or the pain of regrets-
Powered By Blogger