Jumat, 27 November 2009

Ikatan Batin Terpendam


Sahabat cewek saya mengirimkan sebuah SMS tadi sore. SMS itu bernada tawaran magang di salah satu kantor search operator legendaris di Indonesia. Tawaran itu sudah diajukannya semenjak saya masih berancang-ancang keluar dari kantor lama.


Dia bilang, saya bakal punya banyak dan banyak sekali waktu untuk menggeluti aktivitas padat macam magang ini setelah mengundurkan diri dari kantor, tempat mengabdi dua tahun belakangan.


Saya pikir dia benar. Teman dekat saya sejak tiga tahun silam itu memang pernah bekerja di kantor yang sama dengan saya. Jabatannnya pun sama. Meski “cuman” bergelar penulis, namun saya berani kasih empat jempol untuknya.


Dia tak perlu berjuang keras untuk meniti karir di sana. Saat SMA, dia pernah memenangkan salah satu kompetisi gelaran kantor saya. Selepas masa abu-abu, dia pun ditawari untuk bekerja di sana. Beda 540 derajat dengan saya. Harus memutar otak semalam suntuk, mengarang tampilan CV agar bisa memikat petinggi kantor. Walau akhirnya, kelihaian menjawab dan performance saat tes wawancaralah yang menentukan kami. He he he.


Tawaran magang itu membuat saya bergumam. Mampu apa, mengalihkan perhatian dari kantor yang jam bukanya mengalahkan restoran cepat saji 24 hours di sebelahnya, menjadi pegawai berlabel magang yang lebih mirip siswa SMK. Ups, maaf, but that’s fact. Bukannya merendahkan, tapi kerjaannya pun belum pasti. Ranahnya yang berbeda pula.


Semula bekerja di media, kini public relations magangan. Semula bergelut dengan naskah dan deadline, sekarang harus berani maju dengan strategi komunikasi organisasi jitu. Sama-sama bakal berurusan dengan koran, sih. Tapi dulu, saya menjadi salah satu pengisi rubriknya. Nanti, menjadi pengamat koran yang lebih mirip pengangguran. Mencari berita apa yang menyangkut perusahaan tempat saya bakal naungi. Yang bagus, hingga jelek, atau bahkan jelek sekali,


Bukan!. Saya bukan seperti kucing melihat air saat ditawari magang di situ. Justru, beberapa pertanyaan menggelitik muncul di benak saya. Apakah pekerjaan ini bakal semenantangnya saat saya bekerja di DetEksi. Apakah saya akan mendapatkan keluarga dan bukan rekan kerja yang egois dan bekerja dengan gaya katak, tendang kanan-kiri demi kenaikan pangkat.

***

Bekerja di DetEksi, seperti saya bilang tadi, berawal dari sebuah feeling. Yang merasa punya nyali, dia yang mengirimkan CV. Yang merasa keren, dia yang berusaha lolos tes tiap tes. Yang pengin maju, dia yang bertahan ketika event berat berjalan. Dari situlah timbul seleksi alam untuk melihat siapakah yang sanggup berpegangan pada prinsip awal, atau tidak.


It started out as a feeling
Which then grew into a hope
Which then turned into a quiet thought
Which then turned into a quiet word


` Dan saat event itu semakin tumbuh, berkembang ke segala arah, kami pun ada di dalamnya. Setiap orang masing-masing ikut tumbuh dewasa bersamannya. Nggak ada ceritanya, satu orang ngedumel sendiri dengan masalahnya. Yang ada, sebuah forum kecil bersama teman-teman yang selalu menyelamatkan kami. Entah dari persepsi buruk tentang siapapun (terutama atasan) atau bahkan kepenatan saat kerja.


And then that word grew louder and louder
'Til it was a battle cry
I'll come back
When you call me
No need to say goodbye

Perjalanan saya memang sudah berakhir di sana. Di tempat yang saya idamkan selama masa putih abu-abu, saya berusaha untuk mengabdikan pikiran, jiwa, sampai perasaan. Di sana pulalah, saya belajar banyak. Bahkan juga belajar untuk belajar yang baik dari seseorang tentang sebuah ilmu yang bagus.


Just because everything's changing
Doesn't mean it's never been this way before
All you can do is try to know who your friends are
As you head off to the war


Berarti, saya boleh simpulkan, ada sebuah ikatan batin antara saya dengan mereka. Antara saya dengan kantor yang luasnya empat kali rumah saya itu. Bahkan, antara saya dengan setiap komputer di dalamnya. Karena setiap hari saya dan keluarga baru saya itu, berkutat dengan hal-hal itu saja.


Pick a star on the dark horizon
And follow the light
You'll come back when it's over
No need to say goodbye
`


The Call by Regina Spektor,

-OST Narnia Prince Of Caspian-


Berarti, saya tidak butuh kata berpisah dari mereka. Wong, saya masih “cinta” dengan kantor itu. Cuma caranya saja yang berbeda dengan mereka yang masih setia di sana. (*)

Minggu, 08 November 2009

Welcome Abroad !!!

Amplop coklat itu penuh sudah. Di dalamnya, terdapat satu lembar surat lamaran kerja, beberapa lembar fotokopi identitas diri, serta sertifikat beberapa kompetisi dan piagam yang pernah saya renggut. Semuanya saya tata rapi, dengan urutan yang membutuhkan dua kali waktu berpikir. Sudahkah semuanya sempurna.

Amplop itu lalu saya titipkan pada salah seorang sahabat SMA. Sebut saja Rina namanya. Ia sudah bergabung di kantor itu, tiga bulan sebelumnya. Dia pula yang membantu saya dengan merekomendasikan pada pucuk pimpinan. Ya, semacam refrensi halus dari bawahan.

Disana, ia bercerita, tempatnya asyik. Isinya muda-mudi semua. Anak-anaknya gaul. Bukan itu saja. Semuanya rame. Bahkan, paling ramai diantara seluruh ruangan di dalam kantornya.

Dalam hati, saya bergumam, saya akan menjajal untuk menjadi salah satu dari mereka. Berarti, sisi antusias, kreatif, ulet, dan tetek bengek yang berkaitan dengan rajin, harus dikeluarkan. Seenggaknya, begitu prinsip awal ketika memasuki “belantara”.

Besoknya, saya langsung interview. Untuk menguji kemampuan pelamar, di dalamnya juga ada tes tulis dkk. Di tes interview, saya diwawancarai oleh total delapan petinggi perusahaan tersebut. Ya, itu rintangan pertama. Beberapa diantaranya karismatik. Itu ujian kedua. Bisa-bisa, saya malah terjegal karena pancaran karismanya. He he.

Tapi, dewi fortuna masih dipihak saya. Saya lolos seleksi pertama. Saya bangga. Berarti, one step closer untuk menjadi salah satu dari kumpulan otak-otak cerdas.
Memasuki seleksi kedua, saya dihadapkan oleh tes lapangan. Singkat cerita, kantor tempat saya lamar adalah sebuah harian anak muda. Setiap hari selalu mengupas topik yang menarik. Nah, biar seru, halaman tersebut mencari pendapat ratusan anak muda tentang topik tersebut. Caranya? Lewat kuisioner yang dibagikan.

Kembali pada tes kedua. Tes ini diadakan di salah satu mal di pusat Surabaya. Rules-nya begini: masing-masing peserta diberikan beberapa kuisioner. Kuisioner tadi harus diisi oleh anak SMA, yang seluruhnya harus duduk di foodcourt mal itu. Mau saya garis bawahi? Ya, harus berada di foodcourt itu.

Ini termasuk sulit. Waktu yang diberikan hanya dua jam. Setelah itu, kami diharuskan kembali ke kantor. Bagaimanapun caranya, terlambat setengah menitpun bakalan jadi mimpi buruk bak telat saat UNAS.

Jangan bayangkan anak-anak SMA berkeliaran di foodcourt. Hari itu bertepatan dengan ujian serentak di seluruh SMA di Surabaya. So, Excatly ! Hanya pelajar setengah edan yang memutuskan untuk belajar di tengah keramaian foodcourt plasa. Tak apalah, pikir saya. Toh, tekad saya untuk bergabung sudah bulat.

Ujian tersebut benar-benar rintangan yang berat kala itu. Kami yang masih buta soal kertas kuisioner, keberatan. Alhasil, paling banyak, satu anak hanya mendapatkan sepuluh respondet. Itu pun tiga diantaranya tak valid. Dan tebak, berapa dari kami yang berhasil tepat waktu tiba di kantor? Hanya satu orang. Poor me, orang itu bukanlah saya.

Sesaat setelah tiba, kami dikumpulkan di sebuah ruangan. Disitu, kami, yang waktu itu bersepuluh, diinterograsi kecil-kecilan tentang kebulatan tekad untuk bekerja di sana. Masing-masing peserta pun menunduk. Seolah-olah sedang disetrap karena nilai ujian jeblog.

Si penginterograsi, yang kebetulan salah satu petinggi, mengatakan tentang hal-hal buruk kedepan. Ada banyak halangan yang merintangi kami. Baik dari internal, such as kemalasan dan kebosanan, dan parahnya, eksternal. Kalau dari eksternal, ada orang tua dan teman-teman sekitar. Maksudnya, apakah semua halangan tadi benar-benar sudah lenyap? Kalo iya, itu berarti kami siap bekerja di sana. Dan pertanyaan itu pun terjawab tiga hari kemudian.

Saya dan sembilan orang peserta lainnya dinyatakan lolos seluruh seleksi. Oh God, kami berhasil mendapatkan tiket emas itu!. Dalam seumur hidup, itulah masa-masa dimana saya merasa bak menang di Olimpiade fisika internasional. Kemenangan ini yang akan membawa saya menuju sebuah babak baru. Babak dimana saya, dan seluruh waktu saya akan dihabiskan di sebuah kantor yang bernama DetEksi Jawa Pos.

Confession Of A Workaholic




Siang itu, kaki berhasi diajak kompromi untuk mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan komputer terlengkap di Surabaya. Letaknya di pusat kota. Semua orang,rakyat bangsa IT dan komputer, sudah khatam tentang tempat “peribadatan” mereka ini.

Tujuan awal, survei charger notebook. Kebetulan, notebook saya mati suri. Mulai tiga hari lalu, lappie saya kehilangan antibiotik-nya itu.

Sampailah saya di depan etalase toko yang juga tempat membeli lappie itu. Rupanya, toko itu tak banyak berubah. Di etalasenya, puluhan komputer jinjing masih terpajang rapi. Dan dengan papan harga yang masih bisa dibikin shock therapy. Harganya berlipat-lipat gaji bulanan saya.

Tiba-tiba, suatu pemandangan tak sedap dipandang muncul di sebelah saya persis. Si bos toko, yang kebetulan etnis Tionghua, menyuruh anak buahnya, etnis Jawa tulen, untuk mengelap kaca etalase. Spontan, terdengar kasar.
Nadanya tinggi. Mungkin bagi saya yang terbiasa hidup di “belantara deadline”, terbilang tegas. Tapi mbak-mbak tadi justru menerjemahkan dengan ekspresi kesal.

Oleh mbak-mbak tadi, kaca etalase dilapnya rapi. Tapi dengan alis terpaut. Gerakannya asal-asalan. Bibirnya komat-kamit (sambil melafalkan mantra, kali ya). Parahnya, topik etnis selalu menjadi background umpatan masyarakat pribumi. Tak terkecuali, si mbak penjaga toko tadi.

Saya yang berdiri di sebelahnya cuma bisa menyemangatinya dengan kata “Sabar, mbak”. Errr, mbak-mbak tadi malah tambah kesel. Dia malah makin kenceng muter-muter lap basahnya itu.

Huh, saya baru saja bertemu karyawan paling aneh. Apalagi pas saya tinggal pergi, mbak-mbak itu malah balik ngerayu. "Lho, mas, mau kemana? Sini aja, temenin saya," katanya sambil senyum-senyum nggak jelas. Jiaaah....

Satu senyum simpul untuk mbak tadi, ribuan makna di kepala untuk kejadian barusan. First thing first, saya kepikiran. Apa ada yang salah dengan ucapan bosnya. Atau saya yang terbiasa dijejali ocehan editor yang kadang begitu pedasnya (minum air segalon nggak bakal mempan), walau akhirnya membuat standarisasi akan kebagusan naskah kami menapak perlahan?.

Saya sempat mengrenyitkan dahi. "Keluarga" saya di kantor, sangat dan sangat bisa menganggap remeh suruhan si bos tadi. Ya jelaslah, karena mereka terbiasa dengan cambukan verbal. Mereka menjadi sosok yang kuat lantaran terbiasa dikejar-kejar deadline apapun.

Saya salut. Bahkan, sesosok sahabat masih sanggup menebar pesona setelah uang makannya terpaksa disunat. Waktu itu, spanduk orderan si bos belum kelar.

Lantas, pusing berapa keliling mereka? Not at all, mbak!.

Mereka paham, kalo dimarahi, standarisasi kemampuan kita bakal meningkat. Apalagi, amarah itu sifatnya sementara. Objektif, pula. Belum pernah sepanjang perjalanan di gedung biru itu, saya dengar atasan membentak sambil ngungkit kebiasaan yang dibentak. Semuanya berbasis pekerjaan yang dilakoninya.

Jadi teringat celoteh supervisor saya. Orang masuk dunia kerja punya standar segini (sambil menyodorkan tangan kanannya). Kalau dimarahi (memukulkan tangan kanannya itu dengan tangan kirinya dari bawah), standarnya bakal naik. Berulang dimarahi, berulang pula standarnya naik. Tujuannya satu. Supaya standarisasi bagusnya pekerjaan kita semakin naik.

Menurutku, standar mbak tadi masih tersungkur di lantai terdasar. Bahkan mungkin, basement.

She’s work with pressure, not plesure.
Work with plesure...

Yap, itu angel yang pernah diangkat mantan koordinator editor saya di blog pribadinya. Bekerjalah dengan penuh kesenangan, dan uang yang bekerja untukmu. Bekerjalah dengan penuh keluhan, maka uang akan menguap bersama keringatmu. Idiom unik nan menarik inilah yang membimbing saya, dia, dan mereka (keluarga di kantor) menjadi orang-orang tangguh. Honestly, saya bangga berkeluarga mereka.

Saya tak ingin menggurui siapapun. Bahkan diri sendiri. Hanya ingin membagikan pelajaran bermakna. Saya tahu persis, suatu saat akan menjadi sosok seperti seperti mbak tadi. Mengernyitkan dahi ketika dimarahi. Tapi, bukanlah itu hal yang wajar?. Percayalah, kita akan mengernyitkan dahi pula. Bedanya, dia mengelap kaca berukuran 4x3 meter, keluarga saya sudah mengerjakan even basket taraf internasional paling bergengsi se-Indonesia.

Believe me, it’s just another confession of a workaholic!!.
Powered By Blogger