Minggu, 28 Februari 2010

Mitos Yoghurt


Saya kemarin siang terserang penyakit bete stadium empat. Ortu meninggalkan saya yang dalam keadaan tidur untuk menjelajahi ke book store. Untungnya, sepulang dari perginya, ortu membawakan sebuah buku super. Isinya pure kedokteran. Aduh, mereka lupa saya kuliah di mana.

Setelah saya bolak-balik, saya terkejut. Saya nemu fakta mengejutkan tentang yoghurt. Saya re-write artikel itu. Oke, terimakasih buat tepuk tangannya. Nah, buat yang lagi melangkahkan kaki ke cafe yoghurt, atau lagi deket-deket rak yoghurt di supermaket, silahkan merenungkan isi artikel ini. He he.


Baru-baru ini di Jepang, berbagai macam yoghurt, seperti Yoghurt Laut Kaspia, dan yoghurt aloe, menjadi sangat populer karena memiliki keuntungan-keuntungan kesehatan yang dipromosikan secara luas. Namun, saya yakin, bahwa semua ini adalah gambaran yang salah.

Yang sering saya dengar dari orang-orang yang mengonsumsi yoghurt adalah bahwa kondisi pencernaan mereka membaik. Mereka tidak lagi mengalami konstipasi (pengerasan pada feses), atau pinggang mereka mengecil. Dan mereka percaya bahwa semua hasil ini berkat laktobasilus yang terdapat di setiap yoghurt.

Namun, kepercayaan akan keuntungan-keuntungan laktobasilus ini sejak awalnya saja sudah dipertanyakan. Aslinnya, laktobasilus terdapat di dalam usus manusia. Bakteri ini disebut bakteri yang bermukim di dalam usus. Tubuh manusia memiliki suatu sistem pertahanan melawan bakteri dan virus yang datang dari luar. Jadi, bahkan bakteri-bakteri yang biasanya baik untuk tubuh kita, seperti laktobasilus, akan diserang oleh pertahanan alami tubuh jika mereka bukan “pemukim asli” di dalam usus.

Garis pertahanan terdepan adalah asam lambung. Saat laktobasilus yoghurt memasuki lambung, sebagian besar dari mereka dimatikan oleh asam lambung. Oleh sebab itulah, baru0baru ini dilakukan perbaikan. Yoghurt pun dipasarkan dengan slogan Laktobasilus yang berhasil mencapai usus Anda.

Namun, bahkan jika bakteri itu mencapai usus, apakah memang mungkin mereka dapat bekerja sama dengan bakteri-bakteri yang bermukim dalam usus?
Alasan saya mempertanyakan klaim mengenai yoghurt ini adalah karena dalam konteks klinis, karakteristik usus mereka yang mengkonsumsi yoghurt setiap hari tidaklah pernah baik. Saya menduga keras, bahwa jika laktobasilus di dalam yoghurt dapat mencapai usus hidup-hidup, mereka tidak mengakibatkan usus bekerja lebih baik, malah hanya mengacaukan flora usus.

Lalu, mengapa banyak orang yang merasa yoghurt efektif dalam memperbaiki kesehatan mereka? Bagi banyak orang, yoghurt seolah “menyembuhkan” konstipasi. Namun, “penyembuhan” ini sesungguhnya adalah suatu kasus diare ringan.

Beginilah hal yang mungkin bekerja: Orang dewasa tidak memiliki cukup enzim yang menguraikan laktosa. Laktosa adalah gula yang terdapat di dalam susu. Tetapi laktase, enzim yang menguraikan laktosa, mulai berkurang jumlahnya dalam tubuh kita selama masa pertumbuhan. Kalau dipikir, hal ini cukup alami karena susu addalh sesuatu yang diminum kebanyakan oleh balita, bukan orang dewasa. Dengan kata lain, laktase adalah enzim yang tidak diperlukan oleh orang dewasa.

Yoghurt mengandung banyak laktosa. Oleh karenanya, pada saat Anda mengkonsumsinya, ia takkan langsung dicerna dengan baik. Pendeknya, banyak orang yang mengalami diare ringan jika mereka mengkonsumsi yoghurt. Akibatnya, diare ringan ini, yang sesungguhnya ekskresi kotoran stagnan yang selama itu terakumulasi dalam usus besar, secara keliru dianggap sebagai pengobatan terhadap konstipasi.

Kondisi usus Anda akan memburuk jika anda mengkonsumsi yoghurt setiap hari. Saya dapat mengatakan hal ini dengan yakin berdasarkan hasil pengamatan klinis. Jika anda mengonsumsi yoghurt setiap hari, bau kotoran dan gas Anda akan menjadi semakin tajam. Inilah suatu indikasi bahwa lingkungan usus Anda semakin memburuk.

Alasan timbulnya bau tersebut adalah karena racun tengah diproduksi di dalam usus besar. Oleh karena itu, walaupun banyak orang membicarakan efek-efek kesehatan yoghurt secara umum, dalam kenyataannya, banyak hal tentang yoghurt yang buruk bagi tubuh Anda.

Taken from The Miracle of Enzyme by Hiromi Shinya, MD, Guru Besar Kedokteran Albert Einstein College of Medicine, USA.

Sabtu, 27 Februari 2010

DetEksi Way


Kemarin pagi adalah momen terindah dalam tiga bulan terakhir kepergian saya dari kantor itu. Saya sengaja sempatkan membaca halaman koran tempat kerja part time dulu. Halaman itu lagi berulang tahun. Saya bingung, speechless mau nulis apa. Honestly, banyak banget...nget..nget.. yang pengin saya muat di sini. Untungnya positif semuanya.*dasar penjilat ulung*. Ha ha.


Sepuluh tahun. Ya, selama satu dekade itu, anjing (maskot halaman tadi) itu sudah berlari. Mengendus sana-sini. Melacak apapun yang ada di depannya. Matanya tidak terlihat. Hanya hidungnya yang super jumbo. (Buat yang penasaran dengan apa arti maskot Si Det, silahkan baca koran kemarin. Di situ dikupas tuntas...tas..tas..)

Maskot itu sangat cocok diidentikkan semua kru-nya. Berlari ke sana-sini, mengendus apa saja yang ada di depannya (apalagi makanan!), dan baru berhenti bila dimarahi. Yang terakhir ini, saya teringat petuah si supervisor, yang pintarnya nggak ketulungan itu: “Batasan DetEksi adalah kalo kamu dimarahin”.

Tapi kalo dihayati, sifat itu memang benar-benar mirip maskot-nya yah.(Saya sebut maskot, lho. Bukan subjek alias binatangnya. He he.)

Kemarin pula di halaman terdepan koran itu, the biggest one, si bos yang kharismatik itu, menulis. Menurutnya, DetEksi bukan lagi sebuah halaman. Bukan lagi sampingan. Tapi sudah merasuk hingga tahap pola berpikir. It’s call DetEksi Way.

Kru-nya sudah khatam DetEksi Way. Mindset yang DetEksi bangetlah. Ceria, cerewet, blingsatan, sangar, dan menjunjung tinggi tagtegsitas (bahasa Jawa, kata dasar tagteg, artinya cekatan).

Konon, mereka pun sudah menyebarkan “azas” itu ke mana-mana. Ke seluruh Indonesia. Ya, meski namanya berbeda-beda, halaman itu akan terbit di seluruh Indonesia. Ada yang tetap bernama DetEksi, ada yang mengambil nama Xpresi, halaman yang seumuran dan dicetak di bawah nama koran yang sama. Wow! Trully BIG W-O-W!

Si big boss itu juga pernah bilang, kalo kita kerja karena senang, uang ngikut di belakang. Dan itu benar. Laptop yang buat nulis postingan ini saya beli waktu kerja lima bulan pertama. Saya pamerin yang lain lagi, nih. Hp yang lagi saya setel MP3-nya ini, yang kata orang model highlevel ini, juga buah kerja di sana. Minimal, kalo mau gaya, nggak usah capek-capek ngrengek ortu lagi. Dan semua itu saya dapetin di usia sembilan belas tahun. Aseeek..

Yang saya salut dari mereka, kalau berfikir, cepetnya minta ampun. Entah prosesnya memperkerjakan berapa juta sel otak masing-masing. Tapi mikir masalah A, lanjut masalah B, dan pindah problem C, bisa lompat-lompat hanya dalam kedipan mata. Atau bahkan, ketiganya bisa selesai sekaligus dalam satu pemikiran.

Luar biasa. Prinsipnya, kalau kita berpikir, cerebrum (baca halus: otak)harus mau diajak “lari”. Harus maraton. Kalau nggak, bisa kalah sama banyaknya tantangan (baca halus: masalah). Santai sedikit, sudah kesalip problem yang lain. Jadi selain peka dan jeli, kita harus mempersiapkan tenaga untuk pikiran supaya bisa berpikir maraton. Hebatnya, sehari-hari mereka biasa begitu. Bahkan tahunan.

Itulah yang selama tiga bulan ini saya kangenin. Saya memang belum sampai tahap Maglev, tahap tertinggi di DetEksi Way. Mungkin juga baru tahap komuter. Tapi, melihat logo Maglev di bodi komuter saya yang pertanda satu pabrikan, bisa diklaim sebuah kebanggaan, bukan.

Foto di atas adalah suasana di kantor saat hari-H ulang tahun DetEksi. Yang berkaos putih dengan huruf E besar adalah kru DetEksi. Jangan bayangkan kondisi lima menit setelah foto ini diambil. Karena tumpeng-tumpeng itu sudah berbentuk -tiiit- (sensor)

Sabtu, 20 Februari 2010

MatKul Baru: SOK388 Ilmu Kesabaran


Setel How Deep Is Your Love di handphone...

Klik repeat song, biar lagunya muter-muter terus...

Entahlah, tapi irama dan vokal mbak-mbak The Bird And The Bee ini seriously bikin adem. Nyesss... Lumayan buat ngilangin stres dan kalut hari ini. Persetan mbak-mbak itu ngomel-ngomel kecapekan nyanyi. Piss.! =D

Cerita dikit soal daily activity, ya. Eits, kamu kan tinggal baca. Jangan ngomel.

It’s been my freaky Friday. Tadi bangun jam 8 pagi. Pas bangun, kepala langsung spaneng, inget ntar ada rapat koordinator jam sepuluh di kampus.

Ups, saya lupa!. Saya harus buru-buru ngampus. Sebelum rapat, saya pengin beres-beres kandang (baca: ruang) tempat kumpul organisasi mahasiswa itu. Sendirian. Maklum, autis lagi kumat. Dan lagi nggak pengin ngrepotin orang. Nah, saya baik, kan.

Terimakasih tepuk tangannya.

Tapi, sumpah, gudang militer masih jauuuh lebih rapi ketimbang ruangan tadi. Luasnya cuma 3x4 meter. Tapi kalo ditotal, ada 50 lebih jenis barang di sana. Arggh, makin bikin gemes.

Itu belum seberapa. Ada satu item yang punya tiga ukuran. Itu tuh, barang kesayangan emak-emak yang sering dipajang di “etalase” a.k.a halaman rumah buat jemur kerupuk. Bingo, tampah!. Di ruangan kami, produk pasar itu ada banyak ukuran. Kecil, nanggung, sampe jumbo. Nanggung pun juga dibagi tiga kategori, ada yang nanggung condong ke arah besar, lilbit kecil, dan nanggung yang bener-bener nanggung. Halah, intinya banyaklah.

Wah, saya belum jelasin kenapa tampah itu bisa ngisi daftar tamu di sana. Jadi begini, ruangan itu mirip deposit counter jangka panjang. Ya, kalo di kartun, mirip kantong ajaib Doraemon. Another words again: gudang. Semuanya ketampung. Termasuk peralatan acara ospek jurusan yang digelar di luar kota yang seluruhnya tak bertuan. Dan karena semuanya males-malesan mengakuisisi (coba yang diakusisi PT Sampoerna), ditaruhlah benda-benda itu di ruangan itu.

Sejam-an krusak-krusuk di sana lumayan berbuah. Total tiga karung sampah segede gaban (wait, emang ada yang pernah tau gedenya mas Gaban?) berhasil dienyahkan. Fiuh, akhirnya bisa napas lega.

Tapi justru disitu tuh trouble maker-nya. Tenaga saya sudah terkuras, tapi rapat belum dimulai. Plus, ada beberapa anak yang dateng telat. Ayo, hati nurani, kamu harus kerja rodi. Thinking (more and more) positive!.

Saya termasuk orang yang benci telat. Cielee, berlagak sok keren, nih. Dulu, waktu jadi buruh keyboard, saya pejuang deadline. Satu telat semua rusak. Ngulang dari awal juga percuma. Tapi itu masih terbantu karena saya di bayar. Walaupun cuman numpang lewat di ATM, tapi serius, honor itu ibarat Aa Gym ceramah di lokalisasi Dolly. Segeeer. Nah, kalau yang sekarang, boro-boro. Tapi bukan berarti aturan boleh dilanggar, kan. He he. Senyum dulu, dong, biar nggak tegang.

Gara-gara telat itu atmosfer rapat juga berubah nggak enak. Bahas tiap masalah nggak bisa detail karena keburu waktu sholat. Saya bukannya menyalahkan waktu sholat, lho, Tuhan-ku. Tapi kadang, manusia itu jadi panik dan kalut kalau waktu sudah mengejar. Betul, Om Zainuddin?

Tapi, saya salut juga. Kanca-kanca saya juga sudah mau nglewatin weekend (trully weekend karena kampus lagi off) untuk rapat koordinator di “eks” gudang tadi. Itu membantu. :: Ngelus dada ::

Yah, saya mungkin harus ngambil mata kuliah Ilmu Kesabaran semester ini. Maklum, semester lalu sudah ngambil di “kampus” saya yang satunya. Tapi berhubung beda almamater, beda “jas” dan dosen, kan beda juga “belalangnya”. Tapi, makasih lho ya buat ujian kesabarannya, ya kawan. Saya bener-bener bersyukur buat itu. He he. (senyum kecut).

Oiya, untuk mbak-mbak The Bird And The Bee, terimakasih juga sudah di-ninabobo-in, dinyanyiin How Deep Is Your Love limapuluh kali lebih tepat di kuping saya. (*)

Kamis, 11 Februari 2010

Syukur Penawar Keluhan


Sudah dua hari berturut-turut saya merasakan penderitaan terbesar umat pengendara motor di Indonesia. Ya, mogok. Kali ini, sebabnya sepele. Bukan bensin ngedrop atau ban gembos. Tapi justru salah satu sumber kehidupan mahluk hidup dan background yang sering dipake film-film romantis: hujan.

Di musim hujan ini, setiap kali saya memarkir motor di area terbuka, pulangnya selalu bawa oleh-oleh terburuk. Mulai mogok, menuntun jarak jauh, dan dompet terkuras bayar ongkos servis dadakan. Itu sudah satu paket. Mau nggak mau, kudu angguk-angguk kepala..

Kejadian yang paling parah, sih, terjadi minggu lalu. Siang itu saya dan sahabat cewek pengin rapat. Tapi ada ide, kita pengin ganti suasana. Ya, kami yang sama-sama anggota organisasi mahasiswa di kampus, kok ya, kebetulan eneg massal dengan suasana kampus. Langsung, cabuuut.

And, the Oscar goes to...

KFC Ahmad Yani, Surabaya!
Itu adalah gerai fastfood terfavorit temen-temen mantan kantor (ups!) saya. Bukan apa-apa. Letaknya kebetulan persis di sebelah si mantan itu. Tapi jam bukanya itu yang bikin kami kepincut. Tebak, restoran mana, yang cepet penyajiannya, yang mampang menu goceng-an, dan yang siap meladeni mulut-mulut workaholic 24 jam yang satu strip di bawah gila itu? Sembunyi dari editor di jam kerja, kaburnya ke tetangga paling baik di dunia itu. Ha ha.

Parkiran di situ benar-benar terbuka..ka..ka... Nggak ada atap. Bahkan pohon kangkung. Panasnya minta ampuun. Tapi waktu maghrib, kami dapet bonus hujan. Ting tong, seratus!. Itu yang bikin motor saya untuk itungan biji pasir Kute lagi-lagi kebanjiran. Jarum jam sudah bertengger di angka delapan dan betis ini harus kerja rodi lagi *sambil ngelus-ngelus*

Tukang tambal ban, si dewa penolong itu, bikin makin tajam tanduk. Mereka cuti
massal. -Oke, terimakasih buat senyumnya-

Dulu, hampir pasti mereka standby di setiap belokan terdekat. Mungkin waktu itu, bini-bininya lagi brojol barengan. Seems like korban kawin massal, kali. Semua pulkam serentak. Oke, it means, saya harus kerja rodi plus romusha di tengah malam. Menuntun dan teruuus menuntun.

Puas jalan nyaris satu kilometer, saya baru menemukan tanda-tanda kehidupan mereka. Err, wait, satu kejutan tersisa. My savior itu berada di ujung salah satu gang yang banjirnya selutut. Oh, God, perasaan semalem hamba nggak mimpi air bah.

Jarum jam sudah berputar 720 derajat. Alhamdulillah, saya memetik hasilnya. Yay, motor saya pulih!

Kata pak-nya, penyebabnya ada di TKP yang sama. Air ujan masuk, terus membunuh korbannya, karburator. Hebatnya, nggak ada pasal berlapis yang bisa menghentikan aksi pelaku. Aduh, ribetnya. Intinya nggak ada yang bisa diakali. Paling aman, jangan sok-sok an markir di alam terbuka.

Di jalan, sambil melamun-melamun lepas, saya merenungi nasib.

Alhamdulillah, saya masih mending. Basah kuyupnya cuma selutut. Ratusan pengungsi gempa Padang masih nggak bisa tidur setiap hujan mengguyur tendanya.

Untunglah, saya masih mending. Di dompet masih ada beberapa lembar kertas hijau dan merah. Di Bangkalan, kuli batu harus menempuh satu kilometer dulu demi seratus rupiah. Itu pun per satu batu yang beratnya tiga kilogram.

Syukurlah, saya masih mending. Dianugrahi kendaraan dan cuma disuruh rajin servis. Tetangga saya harus ganti minimal tiga bemo untuk ngantor tiap harinya. Belum macetnya, borosnya, dan tekanan batin kalau pak supir bemonya makan ati karena jalannya lambat.

Memang, selain bersyukur, nggak ada perasaan lain yang nyess di hati. Tuhan selalu suka manusia yang berusaha. Dan saya merasa rugi karena dua hari ini cuma bisa mengeluh. Yang mogokanlah, yang banjirlah. Saya lupa, Tuhan masih memberi uang cukup, mesin cuci keluaran terbaru untuk baju-baju saya yang basah itu, dan keluarga serta teman yang setia menolong saya di saat saya butuh. Terimakasih, Allah..
Powered By Blogger