Rabu, 19 Januari 2011

Oleh-Oleh dari Warsawa



Namanya Fanny. Cita-citanya adalah meminta maaf pada mereka pemberi nama, karena hidupnya tak seceria yang mereka harapan.“Bahagialah kapanpun, karena itu cara terbaik mensyukuri hidup,” pesan mamanya sebelum pergi tahun lalu. Perlahan bayangan itu dihapus Lost milik Michael Buble dari sudut restoran ini.

Kata Lidya, sahabatnya SMA yang juga waitress restaurant ini, view di sini tak kalah dengan roof top Petronas twin tower. Bedanya hanya hamparan lampu Malioboro dan alun-alun Jogja yang tampak. “Mangkanya, aku pesen meja ini dari dua bulan yang lalu, Fan. Demi malam spesialmu besok, kan,” SMS-nya kemarin lusa.

Fanny sempat berpikir ini hanya strategi marketing-nya. Tapi peduli amat. Toh Fanny menunggu sesuatu yang spesial. Lidya bilang, banyak yang jadian, atau bahkan meresmikan tunangan di meja berukiran kayu oak di balkon sudut restoran ini.

Cuaca benar-benar bersahabat. Bulan purnama menerangi langit dan kilau bintang-bintang yang membentuk rasi abstrak.

Satu jam lebih Fanny menunggu. Meja sebelah sudah silih berganti tamu hingga tiga kali. “Mau pesan dulu, Fan?”. Fanny membalas dengan gelengan. “Sebentar lagi, Lid. Dia biasa telat. Oiya, kalau sudah muncul di receptionist, tolong kamu yang antarkan ke sini, ya,”.
“Beres!”.

Seseorang yang ia tunggu muncul. Fanny bisa mencium bau parfum Jerman favoritnya perlahan mendekat. Langkah sepatu Italia itu, Fanny masih hafal. Juga sapaan yang hangat. “Fan, aku bener-bener minta maaf. Koneksi internetku mirip Kopaja. Seenak pusar sendiri mutusin. Dan Pak Pram minta iklan di situsnya sudah harus tayang malam ini. Jadi aku rela nunggu,” suara bariton itu memelas.

Fanny hapal, marahpun takkan membuatnya peka. Pernah ia sengaja tak menulis email, tapi pria itu malah mengiranya sedang sibuk ujian. Fanny memilih menceritakan pada Lidya, atau menumpahkan didiary lusuh pemberian pria itu itu. Sendirian.

“Aku tahu, bisnis online-mu lagi di puncak. Tapi, please, Daniel, aku ini orang yang paling alergi menunggu.“ Baju terusan hitam dan stiletto hadiah natal Daniel tahun lalu khusus pertama ia pakai. Ini spesial, karena sebelumnya Fanny tersiksa dengan paaian yang menurutnya terlalu terbuka itu.

“Serius? Buktinya kamu mau menunggu aku lima tahun. Padahal Warsawa berpuluh-puluh ribu kilometer lho. Ha ha.”

Fanny kaget bahwa Daniel menertawakan penantiannya. Daniel seakan tak peka bahwa malam ini adalah momentum langka Fanny. Bahwa Fanny masih setia dengan perasaannya dan aku menyiapkannya, hanya di sini, tak ada waktu lagi. Kamu lebih cuek.

“Aku punya hadiah buat kamu. Tapi aku mau di rumah kamu buka ini. Aku pengin surprise ini tak merusak malam kita,” Daniel terdengar sedikit ribut melempit tas plastik dan menaruhnya di samping tanganya.

“Ah, aku tau. Dari bentuknya yang datar, pasti buku. Kamu gampang ditebak, Dan,” cercanya.
“Hmm. Kalau iya aku gampang ditebak, kenapa kamu tak menebak bahwa aku sudah mulai bosan dengan semua ini. Bahwa aku mau kita… ehm, berakhir, Fan,”

Fanny lebih bisa menerima jika Daniel yang biasa menghakimi orang dan hobi to the point itu mencerca stiletto terlalu sesak di kakinya. Atau baju terusan ini membuatnya seperti Lady Diana di tahun 90-an. Jadul. Tapi ucapan barusan memekakkan telinganya lima kali lipat dari semua itu.

“Lalu, lima tahun kita long distance Jogja-Warsawa ini tak ada artinya? Kemana akal sehatmu, Dan? Aku mengorbankan waktuku cuma akhirnya mendengarkan konklusi konyol barusan? Kamu menyebalkan,”

“Tunggu tunggu. Asal kamu tahu, aku butuh waktu buat malam ini, Fan. Ada beberapa kenyataan logis. Dan itu datang justru datang bukan dari kita.”
“Maksudmu?”

“Ya, aku sudah jelasin semua di chatting kita dari tahun lalu. Kamu yang mau semua ini, sementara orang tuaku menekan kita. Mereka bilang kita tidak ada masa depan, Fan.”
“Aku tidak percaya kamu percaya mereka”
“Semula aku begitu. Tapi aku berusaha menyangkal dan semua sia-sia. Menikah bukan hanya persatukan kita. Tapi dua keluarga, dan keluargaku menolak mentah-mentah itu,”

Daniel masih berusaha meyakinkan, dengan kata-kata mutiara khasnya saat kepepet. Daniel meyakinkan hubungan mereka tak ada progres, hingga restu orang tua yang menurutnya nomor wahid itu. “Aku tahu ini ujian Tapi aku lebih tahu kamu bisa melewatinya tanpa aku. Maafkan aku, Fan,”

Fanny menarik napas panjang. Kalimat yang paling dibencinya itu akhirnya keluar.
“Jujur aku masih sayang kamu. Aku tak mau kamu jatuh lebih ja..,”
“Sudah!, aku sudah membaca ini dari email terakhirmu. Aku pikir mimpi burukku itu hanya bercandaanmu. Pergi, lanjutkan sekolahmu,”

Kalimat itu pergi berbarengan dengan suara kursi yang bergeser cepat. Kemudian Daniel mengecup keningnya. “Maaf, Fan,” diulanginya kata yang kini bermakna pointless itu. Suara sepatu Italian itu menjauh. Parfum itu hilang tak berbekas. Fanny sendirian, menggenggam oleh-oleh dari Warsawa itu.

Tiba-tiba Lidya muncul di sebelahnya. Lidya selalu muncul di saat tepat. Ia duduk dan memegang pundakku perlahan. “Maaf aku tak bisa melerai kalian, Fan. Tapi sekarang suah lega, bukan. Aku ikut sedih ya,”

Jika biasanya Lidya menyeka air mata Fanny, kini ia harus menghapus air matanya yang deras di belaang kepala Fanny.

Malam itu Fanny bergegas pulang, tanpa memesan apapun. Stiletto dan baju terusan hitam itu tergeletak di lorong kamar. Dia tiba-tiba teringiang perkataan ayahnya, bahwa cinta lebih membuat orang tak bisa tidur daripada perusahaan.

***

Suara cempreng Bi Inah selalu mengganggu di pagi hari. Tapi Fanny ingin kembali terlelap, bahkan selamanya. Ia tak sudi memorinya kembali menghampiri. Fanny mengamini hibernasinya akan berhasil. Ia memanjangkan kaki. Tapi tiba-tiba kakinya menyenggol sebuah tas kresek berisi sesuatu. Oleh-oleh dari Daniel.

Fanny menghela napas panjang. Membuka bingkisan itu sama saja menyayat sendiri luka barunya. Tapi sifat skeptis sejak kecilnya membuat ia perlahan-lahan merobek bingkisan itu.

Jari-jari mungilnya yang masih berbalut kuteks merah maroon sisa semalam itu meraba titik-titik yang timbul bertaburan di seluruh sampul buku. “Braille Book. Special Edition by Warsawa Publisher. Create your own Braille book here!” tulisan itu bertaburan di sampul buku yang dibalut pita besar.

Ia membuka halaman pertama, perlahan meraba-raba kalimat pertama, di baris paling atas. “Maaf” itu goresan kata pertamanya. Ia meneruskan kalimat kedua, ketiga, dan seterusnya sambil menatap kosong langit-langit kamarnya. Bibirnya membisikkan sesuatu.

Maaf, bintang kecilku. Aku tahu ini tak mudah. Memikirkannya butuh lima tahun. Orang tuaku lebih cocok dengan Lidya. Aku tak ingin menyakitimu dengan megungkapkan alasannya, meski aku tahu kamu suka sesuatu yang logis.

Maafkan jika malam ini kami baru sempat mengungkapkan semuanya. Aku sudah menyuruh Lidya untuk menyiapkan tempat terindah di Jogja dengan memakai baju teranggun. Aku ingin ia menghargaimu dengan baju itu, walau kau tak sanggup melihatnya. Jika kamu membaca ini, pasti kami sudah bertukar cincin tunangan. Maaf.


Fanny lemas. Badan lunglai itu direbahkannya kembali. Matanya kembali terlelap.
Powered By Blogger