Minggu, 08 November 2009

Welcome Abroad !!!

Amplop coklat itu penuh sudah. Di dalamnya, terdapat satu lembar surat lamaran kerja, beberapa lembar fotokopi identitas diri, serta sertifikat beberapa kompetisi dan piagam yang pernah saya renggut. Semuanya saya tata rapi, dengan urutan yang membutuhkan dua kali waktu berpikir. Sudahkah semuanya sempurna.

Amplop itu lalu saya titipkan pada salah seorang sahabat SMA. Sebut saja Rina namanya. Ia sudah bergabung di kantor itu, tiga bulan sebelumnya. Dia pula yang membantu saya dengan merekomendasikan pada pucuk pimpinan. Ya, semacam refrensi halus dari bawahan.

Disana, ia bercerita, tempatnya asyik. Isinya muda-mudi semua. Anak-anaknya gaul. Bukan itu saja. Semuanya rame. Bahkan, paling ramai diantara seluruh ruangan di dalam kantornya.

Dalam hati, saya bergumam, saya akan menjajal untuk menjadi salah satu dari mereka. Berarti, sisi antusias, kreatif, ulet, dan tetek bengek yang berkaitan dengan rajin, harus dikeluarkan. Seenggaknya, begitu prinsip awal ketika memasuki “belantara”.

Besoknya, saya langsung interview. Untuk menguji kemampuan pelamar, di dalamnya juga ada tes tulis dkk. Di tes interview, saya diwawancarai oleh total delapan petinggi perusahaan tersebut. Ya, itu rintangan pertama. Beberapa diantaranya karismatik. Itu ujian kedua. Bisa-bisa, saya malah terjegal karena pancaran karismanya. He he.

Tapi, dewi fortuna masih dipihak saya. Saya lolos seleksi pertama. Saya bangga. Berarti, one step closer untuk menjadi salah satu dari kumpulan otak-otak cerdas.
Memasuki seleksi kedua, saya dihadapkan oleh tes lapangan. Singkat cerita, kantor tempat saya lamar adalah sebuah harian anak muda. Setiap hari selalu mengupas topik yang menarik. Nah, biar seru, halaman tersebut mencari pendapat ratusan anak muda tentang topik tersebut. Caranya? Lewat kuisioner yang dibagikan.

Kembali pada tes kedua. Tes ini diadakan di salah satu mal di pusat Surabaya. Rules-nya begini: masing-masing peserta diberikan beberapa kuisioner. Kuisioner tadi harus diisi oleh anak SMA, yang seluruhnya harus duduk di foodcourt mal itu. Mau saya garis bawahi? Ya, harus berada di foodcourt itu.

Ini termasuk sulit. Waktu yang diberikan hanya dua jam. Setelah itu, kami diharuskan kembali ke kantor. Bagaimanapun caranya, terlambat setengah menitpun bakalan jadi mimpi buruk bak telat saat UNAS.

Jangan bayangkan anak-anak SMA berkeliaran di foodcourt. Hari itu bertepatan dengan ujian serentak di seluruh SMA di Surabaya. So, Excatly ! Hanya pelajar setengah edan yang memutuskan untuk belajar di tengah keramaian foodcourt plasa. Tak apalah, pikir saya. Toh, tekad saya untuk bergabung sudah bulat.

Ujian tersebut benar-benar rintangan yang berat kala itu. Kami yang masih buta soal kertas kuisioner, keberatan. Alhasil, paling banyak, satu anak hanya mendapatkan sepuluh respondet. Itu pun tiga diantaranya tak valid. Dan tebak, berapa dari kami yang berhasil tepat waktu tiba di kantor? Hanya satu orang. Poor me, orang itu bukanlah saya.

Sesaat setelah tiba, kami dikumpulkan di sebuah ruangan. Disitu, kami, yang waktu itu bersepuluh, diinterograsi kecil-kecilan tentang kebulatan tekad untuk bekerja di sana. Masing-masing peserta pun menunduk. Seolah-olah sedang disetrap karena nilai ujian jeblog.

Si penginterograsi, yang kebetulan salah satu petinggi, mengatakan tentang hal-hal buruk kedepan. Ada banyak halangan yang merintangi kami. Baik dari internal, such as kemalasan dan kebosanan, dan parahnya, eksternal. Kalau dari eksternal, ada orang tua dan teman-teman sekitar. Maksudnya, apakah semua halangan tadi benar-benar sudah lenyap? Kalo iya, itu berarti kami siap bekerja di sana. Dan pertanyaan itu pun terjawab tiga hari kemudian.

Saya dan sembilan orang peserta lainnya dinyatakan lolos seluruh seleksi. Oh God, kami berhasil mendapatkan tiket emas itu!. Dalam seumur hidup, itulah masa-masa dimana saya merasa bak menang di Olimpiade fisika internasional. Kemenangan ini yang akan membawa saya menuju sebuah babak baru. Babak dimana saya, dan seluruh waktu saya akan dihabiskan di sebuah kantor yang bernama DetEksi Jawa Pos.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger