Minggu, 08 November 2009

Confession Of A Workaholic




Siang itu, kaki berhasi diajak kompromi untuk mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan komputer terlengkap di Surabaya. Letaknya di pusat kota. Semua orang,rakyat bangsa IT dan komputer, sudah khatam tentang tempat “peribadatan” mereka ini.

Tujuan awal, survei charger notebook. Kebetulan, notebook saya mati suri. Mulai tiga hari lalu, lappie saya kehilangan antibiotik-nya itu.

Sampailah saya di depan etalase toko yang juga tempat membeli lappie itu. Rupanya, toko itu tak banyak berubah. Di etalasenya, puluhan komputer jinjing masih terpajang rapi. Dan dengan papan harga yang masih bisa dibikin shock therapy. Harganya berlipat-lipat gaji bulanan saya.

Tiba-tiba, suatu pemandangan tak sedap dipandang muncul di sebelah saya persis. Si bos toko, yang kebetulan etnis Tionghua, menyuruh anak buahnya, etnis Jawa tulen, untuk mengelap kaca etalase. Spontan, terdengar kasar.
Nadanya tinggi. Mungkin bagi saya yang terbiasa hidup di “belantara deadline”, terbilang tegas. Tapi mbak-mbak tadi justru menerjemahkan dengan ekspresi kesal.

Oleh mbak-mbak tadi, kaca etalase dilapnya rapi. Tapi dengan alis terpaut. Gerakannya asal-asalan. Bibirnya komat-kamit (sambil melafalkan mantra, kali ya). Parahnya, topik etnis selalu menjadi background umpatan masyarakat pribumi. Tak terkecuali, si mbak penjaga toko tadi.

Saya yang berdiri di sebelahnya cuma bisa menyemangatinya dengan kata “Sabar, mbak”. Errr, mbak-mbak tadi malah tambah kesel. Dia malah makin kenceng muter-muter lap basahnya itu.

Huh, saya baru saja bertemu karyawan paling aneh. Apalagi pas saya tinggal pergi, mbak-mbak itu malah balik ngerayu. "Lho, mas, mau kemana? Sini aja, temenin saya," katanya sambil senyum-senyum nggak jelas. Jiaaah....

Satu senyum simpul untuk mbak tadi, ribuan makna di kepala untuk kejadian barusan. First thing first, saya kepikiran. Apa ada yang salah dengan ucapan bosnya. Atau saya yang terbiasa dijejali ocehan editor yang kadang begitu pedasnya (minum air segalon nggak bakal mempan), walau akhirnya membuat standarisasi akan kebagusan naskah kami menapak perlahan?.

Saya sempat mengrenyitkan dahi. "Keluarga" saya di kantor, sangat dan sangat bisa menganggap remeh suruhan si bos tadi. Ya jelaslah, karena mereka terbiasa dengan cambukan verbal. Mereka menjadi sosok yang kuat lantaran terbiasa dikejar-kejar deadline apapun.

Saya salut. Bahkan, sesosok sahabat masih sanggup menebar pesona setelah uang makannya terpaksa disunat. Waktu itu, spanduk orderan si bos belum kelar.

Lantas, pusing berapa keliling mereka? Not at all, mbak!.

Mereka paham, kalo dimarahi, standarisasi kemampuan kita bakal meningkat. Apalagi, amarah itu sifatnya sementara. Objektif, pula. Belum pernah sepanjang perjalanan di gedung biru itu, saya dengar atasan membentak sambil ngungkit kebiasaan yang dibentak. Semuanya berbasis pekerjaan yang dilakoninya.

Jadi teringat celoteh supervisor saya. Orang masuk dunia kerja punya standar segini (sambil menyodorkan tangan kanannya). Kalau dimarahi (memukulkan tangan kanannya itu dengan tangan kirinya dari bawah), standarnya bakal naik. Berulang dimarahi, berulang pula standarnya naik. Tujuannya satu. Supaya standarisasi bagusnya pekerjaan kita semakin naik.

Menurutku, standar mbak tadi masih tersungkur di lantai terdasar. Bahkan mungkin, basement.

She’s work with pressure, not plesure.
Work with plesure...

Yap, itu angel yang pernah diangkat mantan koordinator editor saya di blog pribadinya. Bekerjalah dengan penuh kesenangan, dan uang yang bekerja untukmu. Bekerjalah dengan penuh keluhan, maka uang akan menguap bersama keringatmu. Idiom unik nan menarik inilah yang membimbing saya, dia, dan mereka (keluarga di kantor) menjadi orang-orang tangguh. Honestly, saya bangga berkeluarga mereka.

Saya tak ingin menggurui siapapun. Bahkan diri sendiri. Hanya ingin membagikan pelajaran bermakna. Saya tahu persis, suatu saat akan menjadi sosok seperti seperti mbak tadi. Mengernyitkan dahi ketika dimarahi. Tapi, bukanlah itu hal yang wajar?. Percayalah, kita akan mengernyitkan dahi pula. Bedanya, dia mengelap kaca berukuran 4x3 meter, keluarga saya sudah mengerjakan even basket taraf internasional paling bergengsi se-Indonesia.

Believe me, it’s just another confession of a workaholic!!.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger