Selasa, 29 Desember 2009

Man Who Cann’t Be Moved


“Dibutuhkan satu menit untuk hancurkan seseorang, satu jam untuk menyukai seseorang, dan satu hari untuk mencintai seseorang. Tapi, butuh seumur hidup untuk melupakan seseorang...” -Anonim-

Sudut jalan 5th Avenue New York, Amerika Serikat. Pemuda itu masih saja setia berdiri di sana, ditengah salju yang seminggu ini membayangi kota itu. Gayanya gelisah dan tak sabaran. Melongok ke kanan-kiri. Setiap ada mobil, ia perhatikan siapa pengendaranya. Oh, bukan!. Ternyata bukan seseorang yang ia tunggu hampir belasan bulan ini. Ia pun masih setia bersandar di tembok kumal yang sudah mengelupas catnya sana-sini. Karena di tempat itu pulalah, dia berkenalan dengan seorang gadis. Gadis yang membuatnya tak tidur bermalam-malam.

Setiap orang yang melewatinya selalu diberi pertanyaan yang sama.
“Pernah kau melihat gadis ini?” ujarnya sambil sodorkan sebuah foto kusut.
Begitu lemah dan hampir menyerah. Semangatnya tinggal separuh. Namun, ia masih bisa berpesan pada setiap orang tadi. Ia minta, saat mereka bertemu gadis yang difoto itu, tolong katakan dia berbulan-bulan di sini untuknya.

Beberapa orang mencoba memberinya uang. Mereka kira ia pengemis renta dari kota sebelah. Uang-uang tersebut dilemparkan di depan kakinya. Mereka tak pernah mengerti, bukan uang dan harta yang ia tunggu. Tumpukan uang itu dianggapnya angin lalu. Ia berdiri di sudut kesayangannya itu hanya untuk melihat pujaannya datang.
Malam tiba. Gadis itu tak kunjung datang. Kepala pria itu masih menjulur mengamati ujung gang-gang di sekitarnya. Rambutnya semakin acak-acakan, tertimpa salju yang jatuh di atas kepalanya. Kakinya tak kenal gontai meski ia masih rela berdiri di kelilingi raksasa-raksasa beton. Sayang, tak satupun orang yang berperawakan mirip dengan first love-nya itu.

Seorang polisi tua menghampirinya. Polisi itu sudah hapal benar maksud dan harapan kosong pria itu. Dalam benaknya, ia selalu bertanya secantik apakah gadis yang ia tunggu. Bahkan ia, yang juga teman akrab pria tadi, sudah putus asa. Lidahnya masih memberikan petuah bohongan. Ditepuknya pundak pria tadi. Semangat “palsu” dan harapan buaian masih berulangkali diucapkannya.

“Mungkin, ia masih di jalan,” bisiknya. Motivasi itu dibalas anggukan kecil pria malang itu.

“Biarlah. Dari sudut ini, aku akan tetap menunggunya. Aku takkan berpindah. Aku takut, jika suatu saat ia mencariku dan aku tak ada di sini. Cinta hanya punya satu kesempatan,” balasnya. Bersama anjingnya, polisi itu lantas pergi meninggalakan teman beserta harapan kosongnya itu.

Gosip tentang pria tadi mulai merebak. Dimulai di satu blok, menyebar ke blok lainnya. Seisi kota pun kini mendengar kisah lelaki itu. Pria itu mulai populer. Bak semut ketemu “gula”, media pun berduyun-duyun meliputnya. Wajahnya ada di mana-mana.
Kesempatan itu ia pakai untuk mencari pujaan hatinya. Sambil melompat-lompat kegirangan, pria tadi menunjukkan foto sang pujaan di depan kamera. Foto yang sudah kusut dan tak jelas objeknya itu terpampang jelas. Seluruh Amerika tahu kecantikan gadis itu.

Satu persatu reporter mulai bergantian meliputnya. Wawancara dengan mik disodorkan dimuka membuatnya tak nyaman. Kilatan kamera menyapu noda kumal di wajahnya.
“Apa yang kau harapkan?” tanya salah seorang di antara mereka.
“Hanya gadis ini. Tolong, jika kau melihatnya, beritahu aku. Dan kalian, para wartawan, tolong katakan padanya. Jika ia berubah pikiran, maka tempat ini adalah tujuan pertamanya,” balas pria itu.

Hari ke hari, mereka mulai menyiarkan berita itu. Namun, tetap saja tak ada kabar. Tak satupun bayangan sang pujaan muncul di hadapannya. Semangat pria itu masih tak luntur. Ia pun masih setia berdiri di sudut kesayangannya itu. Tersiksa sendiri.(*)

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger