Selasa, 29 Desember 2009

Persepsi Model Suka-Suka


Ibu saya tadi siang pergi jalan-jalan dengan kakak-adiknya. Pas pulang, beliau nggak cuma membawa sekotak nasi resto Jepang favorit saya, tapi juga oleh-oleh cerita paling lucu bin djayus yang pernah saya dengar. Begini transkripnya:

Siang hari, di salah satu depart. store tersohor di mall pusat kota Surabaya.

Kakak : “Dek, aku nemu celana bagus! Harganya seratus tiga,” tergopoh-gopoh
sambil menenteng celana hitam merk kelas atas .
Adik :”Oh,ya? Di mana? Mau, dong!.”
Kakak: “Itu, di keranjang sebelah kasir. Udah, ambil langsung bayar sekalian!,”

Ala semangat juang ‘45, adik tadi langsung ngambil tiga celana sekaligus. Lantas, ditaruhnya tepat di atas meja kasir. Ketika ditotal, dia sport jantung! Di komputer, tertera tiga ratus sembilan ribu rupiah. Ya, tiga digit nol di belakang angka 309.
Merasa ditipu mentah-mentah sang kakak, si adik langsung cancel semua pembayaran. Dia lari ke kakaknya sambil protes bak ibu-ibu demo gusuran rumah.
Adik:”He, apa itu?! Katamu harganya seratus tiga,”
Kaka:”Lho, bener, tho!. Maksudku seratus tiga ribu an. Kamu kira?”
Adik:”Seratus dapet tiga,”
Kakak:”Hah?!”

Ada tiga hal yang paling penting untuk dibahas di sini.
Dari jaman kuda gigit besi (sekarang kuda jingkrak di kap mobil), kacamata dan orang minus adalah soulmate yang lebih erat dari Romeo-Juliet. Mulai 2003 lalu, tante saya memang kurang di penglihatan. Kok ya, kebetulan ketika itu, tante saya apes. Kacamata absen di tasnya. Tapi itu faktor kedua.

Selanjutnya, saya berani ngasih dua jempol untuk keberanian beliau. Belum tentu satu diantara dua ratus orang berani membatalkan transaksi yang nyaris klimaks di kasir. Depart. store kelas satu, pula!. Prinsip sebagian orang, mau ditaruh di mana mukanya. Prinsip tante saya, uangnya mau turun dari langit tingkat berapa. Dan itu faktor yang terakhir. Faktor utamanya? And the oscar’s goes to...

Yup, that’s right! It’s all about PERCEPTION.

Dunia bisa kacau balau galau dan berbalik 540 derajat aman tentram hanya gara-gara “itu”. Persepsi kadang mengharuskan kita untuk stag di satu titik pandang. Bukannya kita kadang ngerasa pendapat kita paling betul? Padahal, yang betul adalah persepsinya, bukan faktanya. Masih bingung juga? Okei, saya cerita satu kisah menarik lagi.

Tadi sore, saya buka blog salah seorang teman sekelas di perkuliahan. Menurut kesepakatan bersama (anak seangkatan, lho), dia ini anak yang anti-social. Saya tidak mau nulis biografi tentangnya, mangkanya nggak saya selidiki asal muasal kehidupannya. Mungkin, dia ini reinkarnasi Vionna-nya Shrek, tumbuh sendirian di menara dikelilingi naga ganas. (amit-amit *ketuk meja*)

Di blognya, dia menulis semua keluh kesah. Mulai dari kelompok kuliah, dosen, teman, hingga prince charming-nya. Sayang seribu sayang, semua yang dia tuturkan (allow me to do stupid analysis) muncul hanya dari persepsinya belaka. Dan semuanya, negatif!.
Seperti yang diatas tadi, saya abstain soal latar belakang keluarganya. Bisa aja, dia lahir di keluarga yang baik-baik (but not broken home). Tapi dia dibesarkan dengan cara yang salah. Metode hukuman misalnya. Tapi anehnya, saya nggak pernah lihat bekas cambukan di badannya. Berarti, salah. Tet tot...

Bisa jadi, dia tumbuh di keluarga broken. Atau malah broken society. Maklum, latar belakang suku dan ras sudah jadi rahasia umum. Konon, orang yang berasal dari pulau garam, katanya, sih, beremosi lebih tinggi. Efek garam-darah tinggi? Bisa jadi. Tapi, dia hobi pakai baju warna pink (sebagian orang, pink dianggap representasi gadis manis nan imut). Blog nya pun didominasi pink.

Memang, gimana isi blognya?

Mari kita urai satu-persatu. Di salah satu tulisannya, ia mencurahkan semua keluh kesahnya pada salah seorang anggota kelompok mata kuliah. FYI, mata kuliah itu termasuk penting. Bayangin, ketika dosennya masuk, semua mahasiswa nunduk. Padahal, yang dosen tadi bawa adalah literatur yang tebelnya dua ratus halaman. Nah, gimana kalo yang dibawa kepala manusia berdarah-darah, ya... LoL!

Nah, si partner ini bandelnya amit-amit. Disuruh ngerjain tugas, malasnya minta ampun. Disuruh bayar ongkos cetak print, nunggu gajian bulan depan. Itu pun nunda bulan-bulan berikutnya dengan ending tragis, no payment. Ketika janjian ngerjain tugas paginya, dia bahkan berani absen tanpa konfirmasi.

Padahal, lagi-lagi versi teman saya ini, BFF-nya ini mulai ngedeketin pas awal perkuliahan. Hangout berdua. Pas weekend tiba, mereka suka ngerjain tugas. Ujung-ujungnya, si partner ini malah nawarin temen saya gabung di MLM rintisannya. Luar biasa!. MLM ini mengharuskan anggota baru untuk membayar dua juta. Tentu teman saya ini keberatan.

Sejak itu, mereka renggang. Bikin tugas bareng pun ogah-ogahan. Satu ngerasa sudah SMS job desk satunya. Tapi satu lagi berkilah SMS itu baru nyampe malemnya. Makalah kelompok pun berantakan.
Nah, dimana salahnya?

Teman saya ini, menganggap dunia sama persis denagn apa yang dialaminya. Mengganggap bahwa setiap orang tua memberi uang saku pada putri kecilnya (kilah agar temannya membayar). Menganggap report SMS (kasus SMS tugas yang telat tadi) selalu jujur. Dan parahnya, semua orang di sekelilingnya membencinya. Bahkan, dia menganggap dalam teamwork di setiap kerja kelompoknya, hancur berantakan akibat ulah kami-kami ini yang tak sepaham dengannya. Persepsi suka-suka. Aku suka kalau kerja kelompok aku yang nentuin alurnya. Aku suka kalau tugas diberi individu. Aku suka kalau bla bla bla.

Mungkin, ini bisa menjadi refleksi sekaligus relaksasi buatnya. Mudah-mudahan, ia nggak lagi jadi pecundang yang sering dibantai dosen di kelas akibat sok tahu soal bahasan baru... Jika DetEksi bisa membuat logo We Love DetCon, kami masih membuka pintu dan bersuara We Still Love You. He he he..

2 komentar:

Anonim mengatakan...

huaaah... akhirnya tak baca jugaaa, hehehe....

hm.. hm.. tapi percaya ga mas? orang kayak gitu biasanya punya sahabat kok... sahabat yang mungkin amat susah dicari, tapi biasanya pada akhirnya bisa dia temukan...
pertanyaannya...
apakah "temanmu" itu sudah menemukan sahabatnya?

.niza.

Tino-Tino mengatakan...

@niza: Ya ya, asal jangan sahabat pena (sahabatan ma pena) dan khayalan. he he..
Mungkin dia punya komunitas di pulaunya sana, only heaven knows.
Tapi bolak-balik anak pada kepethuk sifatnya yang mbencekno pol. Pada gigit jari. he he.

Powered By Blogger