Rabu, 23 Maret 2011

Pacaran "Serius"


Saya memang selama dua puluh satu tahun hidup ..… belum pernah pacaran serius. Ya, itu ekspresi yang saya tunggu lho. Saya pernah beberapa kali pacaran, tapi ya cinta kingkong (mari komparasikan dengan ukuran badan). Ketemu di internet, blind date, ngobrol ya ngalor ya ngidul, lalu jadian. Paling banter jadian dengan adik kelas yang dua tahun lebih muda dan dua minggu jarak jadiannya. Oke, terimakasih.

Jelas, tegas, dan realitas yang pedas (boleh saya tambah memelas?), saya mendamba bahkan bermimpi, bagaimana episode pacaran serius saya nanti. Tapi, belum “berani” jadi aktor bukan berarti tidak mau jadi pengamat. Sambil mengamati bentuk-bentuk hubungan, observasi pun dilakukan sana sini. Ya ke teman, ya ke sahabat, ya ke orang yang belum dikenal. Yang paling asyik memang yang terakhir. Lebih objektif kesannya.

Yang terakhir tak sengaja saya lakukan. Barusan.

Saya lagi lapar-laparnya. Perut demonsrasi ala Front Pembubar Indonesia di sebuah gerai Pizza dekat rumah. Saya pesan seporsi salad take away. Saya sendirian di meja bar panjang yang berisi buah dan sayuran itu. Berarti, ini waktunya ‘berkreasi’, karena sistem pengambilannya yang one take service kadang membuat orang yang mengambil melihat saus Thousand Islands seperti tumpukkan Blackberry.

Selang dua-tiga menit, datang sepasang laki-laki-perempuan. Dari box yang mereka bawa, saya tahu mereka juga take away. Laki-laki itu ber-shirt lengan panjang dan vest, perempuannya memakai pantalon dan higheels.

Saya mengidentifikasi hubungan dari pola komunikasi. Yang satu manggil ‘yank’, satunya ‘beib’, agak aneh jika hubungan dikategorikan ‘cuman tetangga’ kan ya. Dari semak-semak daun selada dan rimbunan bawang bombay, saya samar-samar menyimak dialog mereka.

Si mas badan tegap tiba-tiba bilang ke pasangannya “Aku suka buah,”. Si mbak rupanya pengertian dan tanggap dan langsung mengambil beberapa potong semangka fresh ke dalam box. Eh, si mas langsung bilang “Aku kan cuma bilang suka buah. Nggak bilang mau itu,” Si mbak speechless. Langsung menaruh kembali buah-buah itu ke tempatnya, dengan muka seperti kehilangan selera makan. Ya, biar saya yang memimpin gerakan mengelus dada massal.

Waktu di kasir rupanya ada sekuel. Saya tidak tahu gaya pacaran mereka, tapi si perempuan yang sudah agak kehilangan nafsu makan itu yang mengeluarkan dompetnya. Si Mas ini sibuk bermain handphone di belakangnya. Tiba-tiba dia menunjukkan layar handphone ke ceweknya: “Hmm, ini tipe sms yang males aku bales. Nggak penting,” Perempuan itu cuma tersenyum. Terpaksa.

Sepertinya ada yang baru kena pop star syndrome atau penyakit galau sehari penuh karena dimarahi bos. Dan saya pun cuma bisa berspekulasi.

Satu lagi. Yang ini dialami teman saya sendiri. Kebetulan si cowok belum sempat mengontak karena saking sibuknya bekerja. Waktu disempat-sempatkan sms, si cewek justru kesal. “Apa kamu nggak bisa baca dari status facebook-ku ya.”
Saya memang adore dan menjadi pengamat gerak-gerik Kiera Knigthley lewat statusnya di facebook. Tapi kok, saya rasa,Keira pun tidak begitu-begitu amat ya ke pasangannya jika sedang kesal.

Apakah itu yang namanya pacaran serius, yang menganggap bahwa pasangan kita adalah fans yang harus mengerti apa arti setiap kata kita, apa merk shave cream kita, berapa ukuran (maaf) celana dalam kita, dan bahkan berapa besar data yang kita habiskan per hari untuk Blackberry.

Bukannya pacaran itu berarti membagi. Tidak hanya penderitaan tapi justru kesenangan dan itu dilakukan dengan senang karena kita menganggap pacar setara. Yang simple saja, kalau kita berbicara A padanya, kita bahkan tak bisa menduga apa dia tersinggung atau justru bahagia. Sepertinya ada kutipan yang menyentuh kalbu bahwa pacaran itu complementing. So, bukannya perbedaan itu indah karena jika dia berjalan di jalur sebelah kita justru akan melengkapi, dan bukan tumpang tindih.

Kalau kita ingin eksploitasi arogansi, bukankah pasangan adalah tempat yang salah, karena dia orang yang paling hafal seluk beluk kita. Kalau kita ingin dimengerti karena toxic boss yang membatalkan semua ide kita tadi siang, apa larinya juga cemberut ke pasangan gitu. Guys, you deliberatelly need a personal trainer of anger management program.

Saya sebenarnya juga enggan menggurui. Lha jadi murid di dunia perpacaran saja terseok-seok. Saya juga dikatakan agak “miring” waktu bilang ke orang tua ingin pacaran sesudah menikah. Tapi saya percaya, jatuh cinta untuk kesekian kalinya ke orang yang sama meski status berbeda, adalah cara terindah untuk mencintai seseorang.

Rabu, 19 Januari 2011

Oleh-Oleh dari Warsawa



Namanya Fanny. Cita-citanya adalah meminta maaf pada mereka pemberi nama, karena hidupnya tak seceria yang mereka harapan.“Bahagialah kapanpun, karena itu cara terbaik mensyukuri hidup,” pesan mamanya sebelum pergi tahun lalu. Perlahan bayangan itu dihapus Lost milik Michael Buble dari sudut restoran ini.

Kata Lidya, sahabatnya SMA yang juga waitress restaurant ini, view di sini tak kalah dengan roof top Petronas twin tower. Bedanya hanya hamparan lampu Malioboro dan alun-alun Jogja yang tampak. “Mangkanya, aku pesen meja ini dari dua bulan yang lalu, Fan. Demi malam spesialmu besok, kan,” SMS-nya kemarin lusa.

Fanny sempat berpikir ini hanya strategi marketing-nya. Tapi peduli amat. Toh Fanny menunggu sesuatu yang spesial. Lidya bilang, banyak yang jadian, atau bahkan meresmikan tunangan di meja berukiran kayu oak di balkon sudut restoran ini.

Cuaca benar-benar bersahabat. Bulan purnama menerangi langit dan kilau bintang-bintang yang membentuk rasi abstrak.

Satu jam lebih Fanny menunggu. Meja sebelah sudah silih berganti tamu hingga tiga kali. “Mau pesan dulu, Fan?”. Fanny membalas dengan gelengan. “Sebentar lagi, Lid. Dia biasa telat. Oiya, kalau sudah muncul di receptionist, tolong kamu yang antarkan ke sini, ya,”.
“Beres!”.

Seseorang yang ia tunggu muncul. Fanny bisa mencium bau parfum Jerman favoritnya perlahan mendekat. Langkah sepatu Italia itu, Fanny masih hafal. Juga sapaan yang hangat. “Fan, aku bener-bener minta maaf. Koneksi internetku mirip Kopaja. Seenak pusar sendiri mutusin. Dan Pak Pram minta iklan di situsnya sudah harus tayang malam ini. Jadi aku rela nunggu,” suara bariton itu memelas.

Fanny hapal, marahpun takkan membuatnya peka. Pernah ia sengaja tak menulis email, tapi pria itu malah mengiranya sedang sibuk ujian. Fanny memilih menceritakan pada Lidya, atau menumpahkan didiary lusuh pemberian pria itu itu. Sendirian.

“Aku tahu, bisnis online-mu lagi di puncak. Tapi, please, Daniel, aku ini orang yang paling alergi menunggu.“ Baju terusan hitam dan stiletto hadiah natal Daniel tahun lalu khusus pertama ia pakai. Ini spesial, karena sebelumnya Fanny tersiksa dengan paaian yang menurutnya terlalu terbuka itu.

“Serius? Buktinya kamu mau menunggu aku lima tahun. Padahal Warsawa berpuluh-puluh ribu kilometer lho. Ha ha.”

Fanny kaget bahwa Daniel menertawakan penantiannya. Daniel seakan tak peka bahwa malam ini adalah momentum langka Fanny. Bahwa Fanny masih setia dengan perasaannya dan aku menyiapkannya, hanya di sini, tak ada waktu lagi. Kamu lebih cuek.

“Aku punya hadiah buat kamu. Tapi aku mau di rumah kamu buka ini. Aku pengin surprise ini tak merusak malam kita,” Daniel terdengar sedikit ribut melempit tas plastik dan menaruhnya di samping tanganya.

“Ah, aku tau. Dari bentuknya yang datar, pasti buku. Kamu gampang ditebak, Dan,” cercanya.
“Hmm. Kalau iya aku gampang ditebak, kenapa kamu tak menebak bahwa aku sudah mulai bosan dengan semua ini. Bahwa aku mau kita… ehm, berakhir, Fan,”

Fanny lebih bisa menerima jika Daniel yang biasa menghakimi orang dan hobi to the point itu mencerca stiletto terlalu sesak di kakinya. Atau baju terusan ini membuatnya seperti Lady Diana di tahun 90-an. Jadul. Tapi ucapan barusan memekakkan telinganya lima kali lipat dari semua itu.

“Lalu, lima tahun kita long distance Jogja-Warsawa ini tak ada artinya? Kemana akal sehatmu, Dan? Aku mengorbankan waktuku cuma akhirnya mendengarkan konklusi konyol barusan? Kamu menyebalkan,”

“Tunggu tunggu. Asal kamu tahu, aku butuh waktu buat malam ini, Fan. Ada beberapa kenyataan logis. Dan itu datang justru datang bukan dari kita.”
“Maksudmu?”

“Ya, aku sudah jelasin semua di chatting kita dari tahun lalu. Kamu yang mau semua ini, sementara orang tuaku menekan kita. Mereka bilang kita tidak ada masa depan, Fan.”
“Aku tidak percaya kamu percaya mereka”
“Semula aku begitu. Tapi aku berusaha menyangkal dan semua sia-sia. Menikah bukan hanya persatukan kita. Tapi dua keluarga, dan keluargaku menolak mentah-mentah itu,”

Daniel masih berusaha meyakinkan, dengan kata-kata mutiara khasnya saat kepepet. Daniel meyakinkan hubungan mereka tak ada progres, hingga restu orang tua yang menurutnya nomor wahid itu. “Aku tahu ini ujian Tapi aku lebih tahu kamu bisa melewatinya tanpa aku. Maafkan aku, Fan,”

Fanny menarik napas panjang. Kalimat yang paling dibencinya itu akhirnya keluar.
“Jujur aku masih sayang kamu. Aku tak mau kamu jatuh lebih ja..,”
“Sudah!, aku sudah membaca ini dari email terakhirmu. Aku pikir mimpi burukku itu hanya bercandaanmu. Pergi, lanjutkan sekolahmu,”

Kalimat itu pergi berbarengan dengan suara kursi yang bergeser cepat. Kemudian Daniel mengecup keningnya. “Maaf, Fan,” diulanginya kata yang kini bermakna pointless itu. Suara sepatu Italian itu menjauh. Parfum itu hilang tak berbekas. Fanny sendirian, menggenggam oleh-oleh dari Warsawa itu.

Tiba-tiba Lidya muncul di sebelahnya. Lidya selalu muncul di saat tepat. Ia duduk dan memegang pundakku perlahan. “Maaf aku tak bisa melerai kalian, Fan. Tapi sekarang suah lega, bukan. Aku ikut sedih ya,”

Jika biasanya Lidya menyeka air mata Fanny, kini ia harus menghapus air matanya yang deras di belaang kepala Fanny.

Malam itu Fanny bergegas pulang, tanpa memesan apapun. Stiletto dan baju terusan hitam itu tergeletak di lorong kamar. Dia tiba-tiba teringiang perkataan ayahnya, bahwa cinta lebih membuat orang tak bisa tidur daripada perusahaan.

***

Suara cempreng Bi Inah selalu mengganggu di pagi hari. Tapi Fanny ingin kembali terlelap, bahkan selamanya. Ia tak sudi memorinya kembali menghampiri. Fanny mengamini hibernasinya akan berhasil. Ia memanjangkan kaki. Tapi tiba-tiba kakinya menyenggol sebuah tas kresek berisi sesuatu. Oleh-oleh dari Daniel.

Fanny menghela napas panjang. Membuka bingkisan itu sama saja menyayat sendiri luka barunya. Tapi sifat skeptis sejak kecilnya membuat ia perlahan-lahan merobek bingkisan itu.

Jari-jari mungilnya yang masih berbalut kuteks merah maroon sisa semalam itu meraba titik-titik yang timbul bertaburan di seluruh sampul buku. “Braille Book. Special Edition by Warsawa Publisher. Create your own Braille book here!” tulisan itu bertaburan di sampul buku yang dibalut pita besar.

Ia membuka halaman pertama, perlahan meraba-raba kalimat pertama, di baris paling atas. “Maaf” itu goresan kata pertamanya. Ia meneruskan kalimat kedua, ketiga, dan seterusnya sambil menatap kosong langit-langit kamarnya. Bibirnya membisikkan sesuatu.

Maaf, bintang kecilku. Aku tahu ini tak mudah. Memikirkannya butuh lima tahun. Orang tuaku lebih cocok dengan Lidya. Aku tak ingin menyakitimu dengan megungkapkan alasannya, meski aku tahu kamu suka sesuatu yang logis.

Maafkan jika malam ini kami baru sempat mengungkapkan semuanya. Aku sudah menyuruh Lidya untuk menyiapkan tempat terindah di Jogja dengan memakai baju teranggun. Aku ingin ia menghargaimu dengan baju itu, walau kau tak sanggup melihatnya. Jika kamu membaca ini, pasti kami sudah bertukar cincin tunangan. Maaf.


Fanny lemas. Badan lunglai itu direbahkannya kembali. Matanya kembali terlelap.

Kamis, 16 September 2010

Bukit Batu


Hari ini saya membuat keputusan salah. Ya, saya ulangi, keputusan yang salah. Saya tidak mulai mengupasnya di sini. Bukan karena itu akan menambah malu, tapi saya ingin menekankan betapa masifnya pelajaran yang bisa direngkuh ketika sadar bahwa keputusan meleset. Bahwa waktu tidak dapat diulang, bahwa kita sangat ingin menekan tombol playback meski itu mustahil, bahwa ada makna tersurat yang ingin dipaparkan Tuhan di credit title kisah ini.

Mudah-mudahan saya tidak salah menginterpretasi makna itu…

Saya belajar, tentang bagaimana sulitnya me-manuver kesalahan. Tentang bagaimana mengatur satu persatu sel-sel otak agar mereka tenang, dan bisa diajak berpikir lebih rasional. Dan kalimat-kalimat penyangkal justru membuat kita terlihat lebih bodoh.

Saya mengerti, bahwa kata-kata yang keluar di waktu yang sempit tidaklah lebih dari sambutan ketua RT yang pointless. Bahwa mengucapkan “sebentar” lebih baik daripada menuruti gengsi jika kita bisa memburu waktu..


Batu yang dilempar ke danau pasti menciptakan riak. Butuh waktu supaya airnya tenang kembali, meski pada akhirnya batu itu masih ada.

Akhirnya juga saya tahu, mengapa mereka bilang ini hanyalah proses. Dua langkah tersesat dan dua langkah kembali untuk lima langkah yang lebih maju. Karena Tuhan tidak meng-email makna kesalahan itu, melainkan Ia ingin saya lebih rendah hati dan belajar. Karena danau saya sudah berisi bukit batu..

Senin, 07 Juni 2010

Sangu Sang Pemimpin


*)Ini adalah foto Bambang DH, walikota Surabaya yang mencalonkan kembali menjadi wakil walikota 2010-2015, memohon restu istri sesaat sebelum mencalonkan diri.

Hari ini adalah H-1 pemilu walikota di kota saya tinggal. Besok, cuma lima menit, penduduk Surabaya bakal menentukan nasib kota pahlawan-nya ini lima tahun. Calonnya juga ada lima. Tapi menurut saya dan orang tua saya, dan teman-teman saya, dan koran tempat saya bekerja dulu (stupid analysis pada berita yang dimuatnya), ada satu calon yang benar-benar patut memimpin kota ini. Satu-satunya calon wanita. Saya tak mau dicap black campaign karena menulis namanya di sini. He he.

Memang, pemimpin yang bijak dan becus, adalah dia yang tak hanya mampu mengeluarkan potensinya, tapi juga potensi anak buahnya. Si wanita ini pernah menjabat sebagai kepala dinas di Pemkot Surabaya. Karirnya menjulang. Masyarakat senang. Salah satu master piece-nya adalah taman-taman cantik di sudut kota.

Bawahannya ikut suka cita. Meski diberitakan nyaris dicekik bawahan sendiri di ruang kerjanya, toh ia tetap jadi nice and beloved person dijajarannya. Banyak staf yang akhirnya ikut jejaknya tetap menjaga taman Surabaya bersih.

Saya juga sempat punya figur pemimpin yang baik. One step closer to perfect, sepertinya. Dulu. Waktu masih mencari sesuap berlian di kantor itu. Namanya Diatmana Parayuda. Ia mantan supervisor saya. Meski seangkatan kakak saya (selisih 3,5 tahun), Jack-D (serius, begitu panggilannya!) punya semangat seperti Hachiko menunggu sang professor. Loyal. Tegas. Berwibawa, lil bit. (It’s totally my prerogative, Jack. Ha ha) . Pintarnya satu strip di bawah Sri Mulyani (FYI, IQ Sri Mulyani 157).

Minggu lalu, Jack-D resign. Orang, atau figur, yang selama ini jaga gawang agar pemainnya tidak meninggalkan lapangan, akhirnya pergi. Dia dapat kerjaan baru. Menurut saya, dia getol tantangan. Pasti kerjaannya ya lebih menantang. Lebih menantang ketimbang petugas roller coaster atau relawan Palestina-lah. He he.

Dia pergi tak hanya meninggalkan gading. Mirip Sri Mulyani, ia melengos meninggalkan nama baik dan semangat untuk staf-staf-nya. Tapi menurut saya, dikamusnya cuma ada teman dan sahabat. Tidak ada staf. Apalagi bawahan.
Saya, termasuk bawahan, ups, teman, yang kenal baik dan pernah disangoni (bahasa Jawa, artinya diberi sangu) kutipan luar biasa.

“Calon orang sukses, dia yang nggak pernah berhenti belajar. Marah, adalah satu cara supaya orang itu belajar. Jadi orang yang siap sukses itu selalu siap dimarahin.”

*) Menurut cerita teman-teman kantor yang masih aktif, ketika pamitan, ia menangis. Lagi-lagi mirip Sri Mulyani, yang kerjanya sama-sama dari hati. Kira-kira, siapa aja yang pernah marahin Sri Mulyani, ya?

Sabtu, 24 April 2010

My Rainbow



Soundtrack off the day: Glenn Fredlly- Pelangi. Saya tidak pernah memutar lagu itu sekali. Pasti ketagihan, terus dan terus. Seperti minum air laut, semakin diminum semakin haus.

Bagaikan langit berpelangi
Terlukis wajah dalam mimpi
Tertegun dibuai dibuai dalam kenangan dan senyuman
Yang tak 'kan terlupakan

Mungkinkah tercipta kembali
Malam nan penuh keindahan
Sekarang bulan terasa oh hangat menyentuh tubuh
Di antara pelukan

Kau dengar laguku dalam simfoni
Tiada lagi melodi dapat kucipta tanpa senyummu

Bagaikan langit berpelangi
Terlukis wajah dalam mimpi
Sekarang bulan terasa oh hangat menyentuh tubuh
Di antara pelukan


Seperti menunggu pelangi. Walau aku tau kau tak nampak, tapi setelah nahasku, kau kan muncul. Memberi keindahan ragawi, menerangi kelamnya surgawi.

Minggu, 28 Februari 2010

Mitos Yoghurt


Saya kemarin siang terserang penyakit bete stadium empat. Ortu meninggalkan saya yang dalam keadaan tidur untuk menjelajahi ke book store. Untungnya, sepulang dari perginya, ortu membawakan sebuah buku super. Isinya pure kedokteran. Aduh, mereka lupa saya kuliah di mana.

Setelah saya bolak-balik, saya terkejut. Saya nemu fakta mengejutkan tentang yoghurt. Saya re-write artikel itu. Oke, terimakasih buat tepuk tangannya. Nah, buat yang lagi melangkahkan kaki ke cafe yoghurt, atau lagi deket-deket rak yoghurt di supermaket, silahkan merenungkan isi artikel ini. He he.


Baru-baru ini di Jepang, berbagai macam yoghurt, seperti Yoghurt Laut Kaspia, dan yoghurt aloe, menjadi sangat populer karena memiliki keuntungan-keuntungan kesehatan yang dipromosikan secara luas. Namun, saya yakin, bahwa semua ini adalah gambaran yang salah.

Yang sering saya dengar dari orang-orang yang mengonsumsi yoghurt adalah bahwa kondisi pencernaan mereka membaik. Mereka tidak lagi mengalami konstipasi (pengerasan pada feses), atau pinggang mereka mengecil. Dan mereka percaya bahwa semua hasil ini berkat laktobasilus yang terdapat di setiap yoghurt.

Namun, kepercayaan akan keuntungan-keuntungan laktobasilus ini sejak awalnya saja sudah dipertanyakan. Aslinnya, laktobasilus terdapat di dalam usus manusia. Bakteri ini disebut bakteri yang bermukim di dalam usus. Tubuh manusia memiliki suatu sistem pertahanan melawan bakteri dan virus yang datang dari luar. Jadi, bahkan bakteri-bakteri yang biasanya baik untuk tubuh kita, seperti laktobasilus, akan diserang oleh pertahanan alami tubuh jika mereka bukan “pemukim asli” di dalam usus.

Garis pertahanan terdepan adalah asam lambung. Saat laktobasilus yoghurt memasuki lambung, sebagian besar dari mereka dimatikan oleh asam lambung. Oleh sebab itulah, baru0baru ini dilakukan perbaikan. Yoghurt pun dipasarkan dengan slogan Laktobasilus yang berhasil mencapai usus Anda.

Namun, bahkan jika bakteri itu mencapai usus, apakah memang mungkin mereka dapat bekerja sama dengan bakteri-bakteri yang bermukim dalam usus?
Alasan saya mempertanyakan klaim mengenai yoghurt ini adalah karena dalam konteks klinis, karakteristik usus mereka yang mengkonsumsi yoghurt setiap hari tidaklah pernah baik. Saya menduga keras, bahwa jika laktobasilus di dalam yoghurt dapat mencapai usus hidup-hidup, mereka tidak mengakibatkan usus bekerja lebih baik, malah hanya mengacaukan flora usus.

Lalu, mengapa banyak orang yang merasa yoghurt efektif dalam memperbaiki kesehatan mereka? Bagi banyak orang, yoghurt seolah “menyembuhkan” konstipasi. Namun, “penyembuhan” ini sesungguhnya adalah suatu kasus diare ringan.

Beginilah hal yang mungkin bekerja: Orang dewasa tidak memiliki cukup enzim yang menguraikan laktosa. Laktosa adalah gula yang terdapat di dalam susu. Tetapi laktase, enzim yang menguraikan laktosa, mulai berkurang jumlahnya dalam tubuh kita selama masa pertumbuhan. Kalau dipikir, hal ini cukup alami karena susu addalh sesuatu yang diminum kebanyakan oleh balita, bukan orang dewasa. Dengan kata lain, laktase adalah enzim yang tidak diperlukan oleh orang dewasa.

Yoghurt mengandung banyak laktosa. Oleh karenanya, pada saat Anda mengkonsumsinya, ia takkan langsung dicerna dengan baik. Pendeknya, banyak orang yang mengalami diare ringan jika mereka mengkonsumsi yoghurt. Akibatnya, diare ringan ini, yang sesungguhnya ekskresi kotoran stagnan yang selama itu terakumulasi dalam usus besar, secara keliru dianggap sebagai pengobatan terhadap konstipasi.

Kondisi usus Anda akan memburuk jika anda mengkonsumsi yoghurt setiap hari. Saya dapat mengatakan hal ini dengan yakin berdasarkan hasil pengamatan klinis. Jika anda mengonsumsi yoghurt setiap hari, bau kotoran dan gas Anda akan menjadi semakin tajam. Inilah suatu indikasi bahwa lingkungan usus Anda semakin memburuk.

Alasan timbulnya bau tersebut adalah karena racun tengah diproduksi di dalam usus besar. Oleh karena itu, walaupun banyak orang membicarakan efek-efek kesehatan yoghurt secara umum, dalam kenyataannya, banyak hal tentang yoghurt yang buruk bagi tubuh Anda.

Taken from The Miracle of Enzyme by Hiromi Shinya, MD, Guru Besar Kedokteran Albert Einstein College of Medicine, USA.

Sabtu, 27 Februari 2010

DetEksi Way


Kemarin pagi adalah momen terindah dalam tiga bulan terakhir kepergian saya dari kantor itu. Saya sengaja sempatkan membaca halaman koran tempat kerja part time dulu. Halaman itu lagi berulang tahun. Saya bingung, speechless mau nulis apa. Honestly, banyak banget...nget..nget.. yang pengin saya muat di sini. Untungnya positif semuanya.*dasar penjilat ulung*. Ha ha.


Sepuluh tahun. Ya, selama satu dekade itu, anjing (maskot halaman tadi) itu sudah berlari. Mengendus sana-sini. Melacak apapun yang ada di depannya. Matanya tidak terlihat. Hanya hidungnya yang super jumbo. (Buat yang penasaran dengan apa arti maskot Si Det, silahkan baca koran kemarin. Di situ dikupas tuntas...tas..tas..)

Maskot itu sangat cocok diidentikkan semua kru-nya. Berlari ke sana-sini, mengendus apa saja yang ada di depannya (apalagi makanan!), dan baru berhenti bila dimarahi. Yang terakhir ini, saya teringat petuah si supervisor, yang pintarnya nggak ketulungan itu: “Batasan DetEksi adalah kalo kamu dimarahin”.

Tapi kalo dihayati, sifat itu memang benar-benar mirip maskot-nya yah.(Saya sebut maskot, lho. Bukan subjek alias binatangnya. He he.)

Kemarin pula di halaman terdepan koran itu, the biggest one, si bos yang kharismatik itu, menulis. Menurutnya, DetEksi bukan lagi sebuah halaman. Bukan lagi sampingan. Tapi sudah merasuk hingga tahap pola berpikir. It’s call DetEksi Way.

Kru-nya sudah khatam DetEksi Way. Mindset yang DetEksi bangetlah. Ceria, cerewet, blingsatan, sangar, dan menjunjung tinggi tagtegsitas (bahasa Jawa, kata dasar tagteg, artinya cekatan).

Konon, mereka pun sudah menyebarkan “azas” itu ke mana-mana. Ke seluruh Indonesia. Ya, meski namanya berbeda-beda, halaman itu akan terbit di seluruh Indonesia. Ada yang tetap bernama DetEksi, ada yang mengambil nama Xpresi, halaman yang seumuran dan dicetak di bawah nama koran yang sama. Wow! Trully BIG W-O-W!

Si big boss itu juga pernah bilang, kalo kita kerja karena senang, uang ngikut di belakang. Dan itu benar. Laptop yang buat nulis postingan ini saya beli waktu kerja lima bulan pertama. Saya pamerin yang lain lagi, nih. Hp yang lagi saya setel MP3-nya ini, yang kata orang model highlevel ini, juga buah kerja di sana. Minimal, kalo mau gaya, nggak usah capek-capek ngrengek ortu lagi. Dan semua itu saya dapetin di usia sembilan belas tahun. Aseeek..

Yang saya salut dari mereka, kalau berfikir, cepetnya minta ampun. Entah prosesnya memperkerjakan berapa juta sel otak masing-masing. Tapi mikir masalah A, lanjut masalah B, dan pindah problem C, bisa lompat-lompat hanya dalam kedipan mata. Atau bahkan, ketiganya bisa selesai sekaligus dalam satu pemikiran.

Luar biasa. Prinsipnya, kalau kita berpikir, cerebrum (baca halus: otak)harus mau diajak “lari”. Harus maraton. Kalau nggak, bisa kalah sama banyaknya tantangan (baca halus: masalah). Santai sedikit, sudah kesalip problem yang lain. Jadi selain peka dan jeli, kita harus mempersiapkan tenaga untuk pikiran supaya bisa berpikir maraton. Hebatnya, sehari-hari mereka biasa begitu. Bahkan tahunan.

Itulah yang selama tiga bulan ini saya kangenin. Saya memang belum sampai tahap Maglev, tahap tertinggi di DetEksi Way. Mungkin juga baru tahap komuter. Tapi, melihat logo Maglev di bodi komuter saya yang pertanda satu pabrikan, bisa diklaim sebuah kebanggaan, bukan.

Foto di atas adalah suasana di kantor saat hari-H ulang tahun DetEksi. Yang berkaos putih dengan huruf E besar adalah kru DetEksi. Jangan bayangkan kondisi lima menit setelah foto ini diambil. Karena tumpeng-tumpeng itu sudah berbentuk -tiiit- (sensor)

Sabtu, 20 Februari 2010

MatKul Baru: SOK388 Ilmu Kesabaran


Setel How Deep Is Your Love di handphone...

Klik repeat song, biar lagunya muter-muter terus...

Entahlah, tapi irama dan vokal mbak-mbak The Bird And The Bee ini seriously bikin adem. Nyesss... Lumayan buat ngilangin stres dan kalut hari ini. Persetan mbak-mbak itu ngomel-ngomel kecapekan nyanyi. Piss.! =D

Cerita dikit soal daily activity, ya. Eits, kamu kan tinggal baca. Jangan ngomel.

It’s been my freaky Friday. Tadi bangun jam 8 pagi. Pas bangun, kepala langsung spaneng, inget ntar ada rapat koordinator jam sepuluh di kampus.

Ups, saya lupa!. Saya harus buru-buru ngampus. Sebelum rapat, saya pengin beres-beres kandang (baca: ruang) tempat kumpul organisasi mahasiswa itu. Sendirian. Maklum, autis lagi kumat. Dan lagi nggak pengin ngrepotin orang. Nah, saya baik, kan.

Terimakasih tepuk tangannya.

Tapi, sumpah, gudang militer masih jauuuh lebih rapi ketimbang ruangan tadi. Luasnya cuma 3x4 meter. Tapi kalo ditotal, ada 50 lebih jenis barang di sana. Arggh, makin bikin gemes.

Itu belum seberapa. Ada satu item yang punya tiga ukuran. Itu tuh, barang kesayangan emak-emak yang sering dipajang di “etalase” a.k.a halaman rumah buat jemur kerupuk. Bingo, tampah!. Di ruangan kami, produk pasar itu ada banyak ukuran. Kecil, nanggung, sampe jumbo. Nanggung pun juga dibagi tiga kategori, ada yang nanggung condong ke arah besar, lilbit kecil, dan nanggung yang bener-bener nanggung. Halah, intinya banyaklah.

Wah, saya belum jelasin kenapa tampah itu bisa ngisi daftar tamu di sana. Jadi begini, ruangan itu mirip deposit counter jangka panjang. Ya, kalo di kartun, mirip kantong ajaib Doraemon. Another words again: gudang. Semuanya ketampung. Termasuk peralatan acara ospek jurusan yang digelar di luar kota yang seluruhnya tak bertuan. Dan karena semuanya males-malesan mengakuisisi (coba yang diakusisi PT Sampoerna), ditaruhlah benda-benda itu di ruangan itu.

Sejam-an krusak-krusuk di sana lumayan berbuah. Total tiga karung sampah segede gaban (wait, emang ada yang pernah tau gedenya mas Gaban?) berhasil dienyahkan. Fiuh, akhirnya bisa napas lega.

Tapi justru disitu tuh trouble maker-nya. Tenaga saya sudah terkuras, tapi rapat belum dimulai. Plus, ada beberapa anak yang dateng telat. Ayo, hati nurani, kamu harus kerja rodi. Thinking (more and more) positive!.

Saya termasuk orang yang benci telat. Cielee, berlagak sok keren, nih. Dulu, waktu jadi buruh keyboard, saya pejuang deadline. Satu telat semua rusak. Ngulang dari awal juga percuma. Tapi itu masih terbantu karena saya di bayar. Walaupun cuman numpang lewat di ATM, tapi serius, honor itu ibarat Aa Gym ceramah di lokalisasi Dolly. Segeeer. Nah, kalau yang sekarang, boro-boro. Tapi bukan berarti aturan boleh dilanggar, kan. He he. Senyum dulu, dong, biar nggak tegang.

Gara-gara telat itu atmosfer rapat juga berubah nggak enak. Bahas tiap masalah nggak bisa detail karena keburu waktu sholat. Saya bukannya menyalahkan waktu sholat, lho, Tuhan-ku. Tapi kadang, manusia itu jadi panik dan kalut kalau waktu sudah mengejar. Betul, Om Zainuddin?

Tapi, saya salut juga. Kanca-kanca saya juga sudah mau nglewatin weekend (trully weekend karena kampus lagi off) untuk rapat koordinator di “eks” gudang tadi. Itu membantu. :: Ngelus dada ::

Yah, saya mungkin harus ngambil mata kuliah Ilmu Kesabaran semester ini. Maklum, semester lalu sudah ngambil di “kampus” saya yang satunya. Tapi berhubung beda almamater, beda “jas” dan dosen, kan beda juga “belalangnya”. Tapi, makasih lho ya buat ujian kesabarannya, ya kawan. Saya bener-bener bersyukur buat itu. He he. (senyum kecut).

Oiya, untuk mbak-mbak The Bird And The Bee, terimakasih juga sudah di-ninabobo-in, dinyanyiin How Deep Is Your Love limapuluh kali lebih tepat di kuping saya. (*)

Kamis, 11 Februari 2010

Syukur Penawar Keluhan


Sudah dua hari berturut-turut saya merasakan penderitaan terbesar umat pengendara motor di Indonesia. Ya, mogok. Kali ini, sebabnya sepele. Bukan bensin ngedrop atau ban gembos. Tapi justru salah satu sumber kehidupan mahluk hidup dan background yang sering dipake film-film romantis: hujan.

Di musim hujan ini, setiap kali saya memarkir motor di area terbuka, pulangnya selalu bawa oleh-oleh terburuk. Mulai mogok, menuntun jarak jauh, dan dompet terkuras bayar ongkos servis dadakan. Itu sudah satu paket. Mau nggak mau, kudu angguk-angguk kepala..

Kejadian yang paling parah, sih, terjadi minggu lalu. Siang itu saya dan sahabat cewek pengin rapat. Tapi ada ide, kita pengin ganti suasana. Ya, kami yang sama-sama anggota organisasi mahasiswa di kampus, kok ya, kebetulan eneg massal dengan suasana kampus. Langsung, cabuuut.

And, the Oscar goes to...

KFC Ahmad Yani, Surabaya!
Itu adalah gerai fastfood terfavorit temen-temen mantan kantor (ups!) saya. Bukan apa-apa. Letaknya kebetulan persis di sebelah si mantan itu. Tapi jam bukanya itu yang bikin kami kepincut. Tebak, restoran mana, yang cepet penyajiannya, yang mampang menu goceng-an, dan yang siap meladeni mulut-mulut workaholic 24 jam yang satu strip di bawah gila itu? Sembunyi dari editor di jam kerja, kaburnya ke tetangga paling baik di dunia itu. Ha ha.

Parkiran di situ benar-benar terbuka..ka..ka... Nggak ada atap. Bahkan pohon kangkung. Panasnya minta ampuun. Tapi waktu maghrib, kami dapet bonus hujan. Ting tong, seratus!. Itu yang bikin motor saya untuk itungan biji pasir Kute lagi-lagi kebanjiran. Jarum jam sudah bertengger di angka delapan dan betis ini harus kerja rodi lagi *sambil ngelus-ngelus*

Tukang tambal ban, si dewa penolong itu, bikin makin tajam tanduk. Mereka cuti
massal. -Oke, terimakasih buat senyumnya-

Dulu, hampir pasti mereka standby di setiap belokan terdekat. Mungkin waktu itu, bini-bininya lagi brojol barengan. Seems like korban kawin massal, kali. Semua pulkam serentak. Oke, it means, saya harus kerja rodi plus romusha di tengah malam. Menuntun dan teruuus menuntun.

Puas jalan nyaris satu kilometer, saya baru menemukan tanda-tanda kehidupan mereka. Err, wait, satu kejutan tersisa. My savior itu berada di ujung salah satu gang yang banjirnya selutut. Oh, God, perasaan semalem hamba nggak mimpi air bah.

Jarum jam sudah berputar 720 derajat. Alhamdulillah, saya memetik hasilnya. Yay, motor saya pulih!

Kata pak-nya, penyebabnya ada di TKP yang sama. Air ujan masuk, terus membunuh korbannya, karburator. Hebatnya, nggak ada pasal berlapis yang bisa menghentikan aksi pelaku. Aduh, ribetnya. Intinya nggak ada yang bisa diakali. Paling aman, jangan sok-sok an markir di alam terbuka.

Di jalan, sambil melamun-melamun lepas, saya merenungi nasib.

Alhamdulillah, saya masih mending. Basah kuyupnya cuma selutut. Ratusan pengungsi gempa Padang masih nggak bisa tidur setiap hujan mengguyur tendanya.

Untunglah, saya masih mending. Di dompet masih ada beberapa lembar kertas hijau dan merah. Di Bangkalan, kuli batu harus menempuh satu kilometer dulu demi seratus rupiah. Itu pun per satu batu yang beratnya tiga kilogram.

Syukurlah, saya masih mending. Dianugrahi kendaraan dan cuma disuruh rajin servis. Tetangga saya harus ganti minimal tiga bemo untuk ngantor tiap harinya. Belum macetnya, borosnya, dan tekanan batin kalau pak supir bemonya makan ati karena jalannya lambat.

Memang, selain bersyukur, nggak ada perasaan lain yang nyess di hati. Tuhan selalu suka manusia yang berusaha. Dan saya merasa rugi karena dua hari ini cuma bisa mengeluh. Yang mogokanlah, yang banjirlah. Saya lupa, Tuhan masih memberi uang cukup, mesin cuci keluaran terbaru untuk baju-baju saya yang basah itu, dan keluarga serta teman yang setia menolong saya di saat saya butuh. Terimakasih, Allah..

Minggu, 03 Januari 2010

5 Hal Yang Disembunyikan Tirai Bioskop


“Malem Minggu, Aye pergi ke Bioskop.
Bergandengan ama pacar nonton koboi”

Lagu Nonton Bioskop barusan kayaknya bakal menjadi lagu legendaris semata. Karena di bawah ini sudah ada fakta yang bisa membuat kita melompat terkejut dari kursi bioskop. Bukan, bukan karena Brad Pitt dan Angelina Jolie tembak-tembakkan di gurun pasir. Tapi karena bioskop punya “dosa kecil” sama penontonnya. Aha!, berarti ini waktunya si magic card kartu rental DVD keluar dari dompet.

1. "Kami Sudah Usang? Tidak Mungkin!”
Sulit dipercaya, tapi bioskop sudah lama berjaya sejak jaman baheula. Dulu, kompetitornya sesama agen pemutar film. Mulai kelas kursi sofa Italia dengan karpet Arab sampe kelas teri kursi kondangan dengan alas semen cor-coran. Sekarang, bioskop harus bergelut dengan internet, tv cable, dan media lain. Oke, berapa orang dari kalian yang sudah nonton Avatar via produk mbak-mbak ITC ? Bagus, turunkan semua tangan itu.
Data dari lembaga pengamat bioskop di Amerika menyebutkan, box office (panggilan akrab bioskop) justru mengalami pengingkatan pendapatan sejak 2005 silam. Tapi, fakta terbalik menyebutkan bahwa jumlah tiket yang terjual malah menurun. Mulai 2005 hingga 2009, angka jual kursi di bioskop hanya berkisar 1,4 juta penonton. Kuncinya ada pada harga tiket. Semula USD 6, 41 sengaja dinaikkan hingga USD 7,46. What a Beautiful Liar. It’s that true, Shakira ?? ha ha ha.

2. “Kami Berlimpah Uang Karena Menjual Mata Anda”
“Pengin nonton tapi nggak mau repot. Tenang, cukup kirimkan SMS ke nomor 2121. Kamu tinggal registrasi ke bioskop terdekat. Gampang, kan. Dan jangan lupa saksikan Air Terjun Pengantin di bioskop kesayangan Anda” –adegan diperankan Tamara Blezinsky”

Untuk kamu para cewek, tutup mata pangeranmu sebelum air liurnya menetes. Yacks!. Untuk lainnya, familiar sama scene barusan? Yup, itu contoh iklan pra-pemutaran film yang biasanya membuat tanduk kita nongol. Serasa pengin merebut remote dan ganti channel, kan. Tapi percayalah, pundi-pundi bioskop semakin berlimpah uang karena porsi iklan yang cukup besar tadi. Data dari Amerika (angkat bendera putih, Indonesia-ku. Hiks hiks...) menyebutkan, setiap tahun, frekuensi pemasangan iklan tadi meningkat dari 10 menjadi 15 persen. Movie holic Indonesia mungkin belum terlalu terganggu. Tapi, sekitar 3.400 orang di negeri Paman Sam pernah membuat petisi online soal itu. Mereka ingin tayangan bersih, yang tidak terkontaminasi iklan sebelumnya. Fellas, kamu sadar kita sudah menyisihkan uang saku seminggu, rela ngemis jajan temen di kantin, untuk menonton iklan yang annoying? Terus, apa bedanya nonton di tv ??

3. “Jika Kamu Lelah Dengan BlockBusters, Kamu Beruntung”
Hingga berita ini diturunkan, saya masih nyari korelasi judul dan artikel, teman. Mungkin Om Joni di Janji Joni lebih expert soal ini. Yang jelas, pemilik bioskop sekarang tak perlu nyewa orang yang tiap harinya harus pontang-panting mengantarkan roll film dari satu studio ke studio lain. Sekali klik, satu judul film sekelas Transformers 2 sekalipun sudah nongol di layar komputer mereka. Eits, yang ini hubungannya sama kecanggihan satelit, teman. Tapi, menurut sutradara di Amerika, ini adalah hokus pokus mereka untuk menyelamatkan budget film yang membengkat. No distribution, no waste money. Wah, era digital rupanya memang menggerus ladang pekerjaan. *berlagak seperti anti-lepie*

4. "Sumpah, Kami Sarankan Anda Tidak Datang Saat Premiere"
Ngantri tiket dari jam sepuluh, dan tiket habis pada jam sebelas. Parahnya, tiket masih belum di genggaman.

Dua kali saya mengalami getirnya premiere. Satu ketika New Moon, satu lagi film “fenomenal” 2012. Dua-duanya sama-sama bikin keki. Damn, masak saya harus diruwat hanya untuk duduk manis dua jam? Tapi, tahukah Anda, ternyata bioskop seribu kali lipat keki dari para penontonnya saat musim premiere datang.

Cara kerjanya begini. Bioskop memutar film dengan kompensasi uang sewa yang dibayarkan pada studio movie maker. Faktanya, uang setorannya itu menjadi berlipat-lipat lebih banyak ketika film diputar di awal masa tayang. Ketika Titanic berjaya selama berbulan-bulan, itu berarrti durian runtuh buat bioskop. Lantas bagaimana dengan film ecek-ecek yang diputar kurang dari seminggu? Ouch, it’s gonna be nightmare, dear.

5. “Pergi Ke Bioskop = Uji Kekuatan Telinga Anda”
Salah satu kelebihan bioskop (yang men-ndeso-kan saya waktu kecil) antara lain adalah dapur suara. Tatanan efek yang begitu menggelegar seakan-akan membuat kursi bioskop berada di lokasi syuting. Tapi sadarkah kita, bahwa tingkat desibel tatanan audio super duper menggeleger itu sudah merusak kendang telinga kita? Spesial efek suara, yang sukses memelongokan penonton berjam-jam, memiliki dampak yang sama mengkhawatirkan dengan menonton konser mega bintang. Ini membahayakan. Manurut Pusat Pendengaran dan Komunikasi Amerika, dentuman suara yang lebih besar ketimbang 85 desibel, bisa merusak pendengaran kita. “Kami menerima komplain dari mereka (penonton bioskop). Meski sedikit, mereka merasa dengung pada telinga sesaat setelah menonton,” ujar Amy Boyle, direktur pusat penelitian tadi. Mbak Amy bilang, dia menyarankan kita untuk membeli alat ukur. Lewat itu, kita bisa tahu berapa desibel suara yang masuk di telinga kita. Tapi, mbak, apa alat ukur itu dijamin lebih murah dari harga tiketnya? I’m affraid it can drain your pocket.

Sabtu, 02 Januari 2010

No Sequel


Saya sudah memilih. Mengakhiri romance movie dengan Good Bye My Lovers-James Blunt sebagai soundtrack akhirnya. Tidak ada sekuel, dan terimakasih sebesar-besarnya untuk “mu”

Satu resolusi terbesar di tahun baru kali ini sudah dibuat. Setelah melewati finishing touch yang cukup panjang, saya berani umumkan one big change in my rail. Saya nggak akan nodai awal, tengah, dan akhir tahun dengan nyebut-nyebut semua hal tentang kamu lagi. Its just another bullsheet. Even gelandangan pun sudah jijik sama kisah pilu itu (dengan tanduk keluar).

So sorry for my heart. Karena dengan mikirin kamu, saya jadi kehilangan waktu bersenang-senang dengan orang-orang terbaik di hidup saya. Padahal bercandaan sambil duduk berdua mereka jauh lebih berharga ketimbang harapan semu ini.
Saya sadar bahwa teman-teman saya juga sudah eneg saat saya ajak ngobrol tentang kamu. Cuma karena saking baiknya mereka aja mereka mau buka kuping dan pegel angguk-angguk kepala sepanjang hari soal kamu.

Nggak ada lagi pencet-pencet keyboard tentang kamu. Nggak ada juga hujan air mata haru biru setelah baca statusmu. Dan soal posting-posting murahan hal yang itu-itu lagi di blog, i wish i could drink a forgetful potion before that.

Setahun lalu, aku masih mikir jurus pamungkas ngelupain kamu. Tahun lalu, aku menodai diariku dan diari temen-temenku saat kamu terlintas di pikiranku. Lembaran-lembaran itu sudah aku sobek. Remetannya sudah nggak tau di depo sampah kota mana.
Aku bahkan harus berguru sama keledai, supaya nggak ngulang kesalahan lebih dari dua kali. Who knows, itu bisa jadi sekoci penyelamat di saat-saat pikiran itu muncul.
Yang pasti di tahun ini, sudah nggak ada rencana untuk bikin sekuel blog tentangmu ini. Biarin, biar produser punya dana ratusan milyar dan casting sudah berjalan. Tapi aku nolak mentah-mentah, kalau perannya masih kamu dan aku. Kalau poster filmnya masih ada foto kita berdua dan penonton setianya masih temen-temen kita sendiri. Penonton yang sudah bolak-balik masuk adegan karena kebaikan dan kemauan mereka duduk diam dengerin cerita ini.

And I still hold your hand in mine.
In mine when I'm asleep.
And I will bare my soul in time,
When I'm kneeling at your feet.
Goodbye my lover.
Goodbye my friend.
You have been the one.
You have been the one for me

Good Bye My Lovers – James Blunt

Selasa, 29 Desember 2009

Persepsi Model Suka-Suka


Ibu saya tadi siang pergi jalan-jalan dengan kakak-adiknya. Pas pulang, beliau nggak cuma membawa sekotak nasi resto Jepang favorit saya, tapi juga oleh-oleh cerita paling lucu bin djayus yang pernah saya dengar. Begini transkripnya:

Siang hari, di salah satu depart. store tersohor di mall pusat kota Surabaya.

Kakak : “Dek, aku nemu celana bagus! Harganya seratus tiga,” tergopoh-gopoh
sambil menenteng celana hitam merk kelas atas .
Adik :”Oh,ya? Di mana? Mau, dong!.”
Kakak: “Itu, di keranjang sebelah kasir. Udah, ambil langsung bayar sekalian!,”

Ala semangat juang ‘45, adik tadi langsung ngambil tiga celana sekaligus. Lantas, ditaruhnya tepat di atas meja kasir. Ketika ditotal, dia sport jantung! Di komputer, tertera tiga ratus sembilan ribu rupiah. Ya, tiga digit nol di belakang angka 309.
Merasa ditipu mentah-mentah sang kakak, si adik langsung cancel semua pembayaran. Dia lari ke kakaknya sambil protes bak ibu-ibu demo gusuran rumah.
Adik:”He, apa itu?! Katamu harganya seratus tiga,”
Kaka:”Lho, bener, tho!. Maksudku seratus tiga ribu an. Kamu kira?”
Adik:”Seratus dapet tiga,”
Kakak:”Hah?!”

Ada tiga hal yang paling penting untuk dibahas di sini.
Dari jaman kuda gigit besi (sekarang kuda jingkrak di kap mobil), kacamata dan orang minus adalah soulmate yang lebih erat dari Romeo-Juliet. Mulai 2003 lalu, tante saya memang kurang di penglihatan. Kok ya, kebetulan ketika itu, tante saya apes. Kacamata absen di tasnya. Tapi itu faktor kedua.

Selanjutnya, saya berani ngasih dua jempol untuk keberanian beliau. Belum tentu satu diantara dua ratus orang berani membatalkan transaksi yang nyaris klimaks di kasir. Depart. store kelas satu, pula!. Prinsip sebagian orang, mau ditaruh di mana mukanya. Prinsip tante saya, uangnya mau turun dari langit tingkat berapa. Dan itu faktor yang terakhir. Faktor utamanya? And the oscar’s goes to...

Yup, that’s right! It’s all about PERCEPTION.

Dunia bisa kacau balau galau dan berbalik 540 derajat aman tentram hanya gara-gara “itu”. Persepsi kadang mengharuskan kita untuk stag di satu titik pandang. Bukannya kita kadang ngerasa pendapat kita paling betul? Padahal, yang betul adalah persepsinya, bukan faktanya. Masih bingung juga? Okei, saya cerita satu kisah menarik lagi.

Tadi sore, saya buka blog salah seorang teman sekelas di perkuliahan. Menurut kesepakatan bersama (anak seangkatan, lho), dia ini anak yang anti-social. Saya tidak mau nulis biografi tentangnya, mangkanya nggak saya selidiki asal muasal kehidupannya. Mungkin, dia ini reinkarnasi Vionna-nya Shrek, tumbuh sendirian di menara dikelilingi naga ganas. (amit-amit *ketuk meja*)

Di blognya, dia menulis semua keluh kesah. Mulai dari kelompok kuliah, dosen, teman, hingga prince charming-nya. Sayang seribu sayang, semua yang dia tuturkan (allow me to do stupid analysis) muncul hanya dari persepsinya belaka. Dan semuanya, negatif!.
Seperti yang diatas tadi, saya abstain soal latar belakang keluarganya. Bisa aja, dia lahir di keluarga yang baik-baik (but not broken home). Tapi dia dibesarkan dengan cara yang salah. Metode hukuman misalnya. Tapi anehnya, saya nggak pernah lihat bekas cambukan di badannya. Berarti, salah. Tet tot...

Bisa jadi, dia tumbuh di keluarga broken. Atau malah broken society. Maklum, latar belakang suku dan ras sudah jadi rahasia umum. Konon, orang yang berasal dari pulau garam, katanya, sih, beremosi lebih tinggi. Efek garam-darah tinggi? Bisa jadi. Tapi, dia hobi pakai baju warna pink (sebagian orang, pink dianggap representasi gadis manis nan imut). Blog nya pun didominasi pink.

Memang, gimana isi blognya?

Mari kita urai satu-persatu. Di salah satu tulisannya, ia mencurahkan semua keluh kesahnya pada salah seorang anggota kelompok mata kuliah. FYI, mata kuliah itu termasuk penting. Bayangin, ketika dosennya masuk, semua mahasiswa nunduk. Padahal, yang dosen tadi bawa adalah literatur yang tebelnya dua ratus halaman. Nah, gimana kalo yang dibawa kepala manusia berdarah-darah, ya... LoL!

Nah, si partner ini bandelnya amit-amit. Disuruh ngerjain tugas, malasnya minta ampun. Disuruh bayar ongkos cetak print, nunggu gajian bulan depan. Itu pun nunda bulan-bulan berikutnya dengan ending tragis, no payment. Ketika janjian ngerjain tugas paginya, dia bahkan berani absen tanpa konfirmasi.

Padahal, lagi-lagi versi teman saya ini, BFF-nya ini mulai ngedeketin pas awal perkuliahan. Hangout berdua. Pas weekend tiba, mereka suka ngerjain tugas. Ujung-ujungnya, si partner ini malah nawarin temen saya gabung di MLM rintisannya. Luar biasa!. MLM ini mengharuskan anggota baru untuk membayar dua juta. Tentu teman saya ini keberatan.

Sejak itu, mereka renggang. Bikin tugas bareng pun ogah-ogahan. Satu ngerasa sudah SMS job desk satunya. Tapi satu lagi berkilah SMS itu baru nyampe malemnya. Makalah kelompok pun berantakan.
Nah, dimana salahnya?

Teman saya ini, menganggap dunia sama persis denagn apa yang dialaminya. Mengganggap bahwa setiap orang tua memberi uang saku pada putri kecilnya (kilah agar temannya membayar). Menganggap report SMS (kasus SMS tugas yang telat tadi) selalu jujur. Dan parahnya, semua orang di sekelilingnya membencinya. Bahkan, dia menganggap dalam teamwork di setiap kerja kelompoknya, hancur berantakan akibat ulah kami-kami ini yang tak sepaham dengannya. Persepsi suka-suka. Aku suka kalau kerja kelompok aku yang nentuin alurnya. Aku suka kalau tugas diberi individu. Aku suka kalau bla bla bla.

Mungkin, ini bisa menjadi refleksi sekaligus relaksasi buatnya. Mudah-mudahan, ia nggak lagi jadi pecundang yang sering dibantai dosen di kelas akibat sok tahu soal bahasan baru... Jika DetEksi bisa membuat logo We Love DetCon, kami masih membuka pintu dan bersuara We Still Love You. He he he..

Man Who Cann’t Be Moved


“Dibutuhkan satu menit untuk hancurkan seseorang, satu jam untuk menyukai seseorang, dan satu hari untuk mencintai seseorang. Tapi, butuh seumur hidup untuk melupakan seseorang...” -Anonim-

Sudut jalan 5th Avenue New York, Amerika Serikat. Pemuda itu masih saja setia berdiri di sana, ditengah salju yang seminggu ini membayangi kota itu. Gayanya gelisah dan tak sabaran. Melongok ke kanan-kiri. Setiap ada mobil, ia perhatikan siapa pengendaranya. Oh, bukan!. Ternyata bukan seseorang yang ia tunggu hampir belasan bulan ini. Ia pun masih setia bersandar di tembok kumal yang sudah mengelupas catnya sana-sini. Karena di tempat itu pulalah, dia berkenalan dengan seorang gadis. Gadis yang membuatnya tak tidur bermalam-malam.

Setiap orang yang melewatinya selalu diberi pertanyaan yang sama.
“Pernah kau melihat gadis ini?” ujarnya sambil sodorkan sebuah foto kusut.
Begitu lemah dan hampir menyerah. Semangatnya tinggal separuh. Namun, ia masih bisa berpesan pada setiap orang tadi. Ia minta, saat mereka bertemu gadis yang difoto itu, tolong katakan dia berbulan-bulan di sini untuknya.

Beberapa orang mencoba memberinya uang. Mereka kira ia pengemis renta dari kota sebelah. Uang-uang tersebut dilemparkan di depan kakinya. Mereka tak pernah mengerti, bukan uang dan harta yang ia tunggu. Tumpukan uang itu dianggapnya angin lalu. Ia berdiri di sudut kesayangannya itu hanya untuk melihat pujaannya datang.
Malam tiba. Gadis itu tak kunjung datang. Kepala pria itu masih menjulur mengamati ujung gang-gang di sekitarnya. Rambutnya semakin acak-acakan, tertimpa salju yang jatuh di atas kepalanya. Kakinya tak kenal gontai meski ia masih rela berdiri di kelilingi raksasa-raksasa beton. Sayang, tak satupun orang yang berperawakan mirip dengan first love-nya itu.

Seorang polisi tua menghampirinya. Polisi itu sudah hapal benar maksud dan harapan kosong pria itu. Dalam benaknya, ia selalu bertanya secantik apakah gadis yang ia tunggu. Bahkan ia, yang juga teman akrab pria tadi, sudah putus asa. Lidahnya masih memberikan petuah bohongan. Ditepuknya pundak pria tadi. Semangat “palsu” dan harapan buaian masih berulangkali diucapkannya.

“Mungkin, ia masih di jalan,” bisiknya. Motivasi itu dibalas anggukan kecil pria malang itu.

“Biarlah. Dari sudut ini, aku akan tetap menunggunya. Aku takkan berpindah. Aku takut, jika suatu saat ia mencariku dan aku tak ada di sini. Cinta hanya punya satu kesempatan,” balasnya. Bersama anjingnya, polisi itu lantas pergi meninggalakan teman beserta harapan kosongnya itu.

Gosip tentang pria tadi mulai merebak. Dimulai di satu blok, menyebar ke blok lainnya. Seisi kota pun kini mendengar kisah lelaki itu. Pria itu mulai populer. Bak semut ketemu “gula”, media pun berduyun-duyun meliputnya. Wajahnya ada di mana-mana.
Kesempatan itu ia pakai untuk mencari pujaan hatinya. Sambil melompat-lompat kegirangan, pria tadi menunjukkan foto sang pujaan di depan kamera. Foto yang sudah kusut dan tak jelas objeknya itu terpampang jelas. Seluruh Amerika tahu kecantikan gadis itu.

Satu persatu reporter mulai bergantian meliputnya. Wawancara dengan mik disodorkan dimuka membuatnya tak nyaman. Kilatan kamera menyapu noda kumal di wajahnya.
“Apa yang kau harapkan?” tanya salah seorang di antara mereka.
“Hanya gadis ini. Tolong, jika kau melihatnya, beritahu aku. Dan kalian, para wartawan, tolong katakan padanya. Jika ia berubah pikiran, maka tempat ini adalah tujuan pertamanya,” balas pria itu.

Hari ke hari, mereka mulai menyiarkan berita itu. Namun, tetap saja tak ada kabar. Tak satupun bayangan sang pujaan muncul di hadapannya. Semangat pria itu masih tak luntur. Ia pun masih setia berdiri di sudut kesayangannya itu. Tersiksa sendiri.(*)

YANG TIDAK BISA DIUCAPKAN PAPA


Tulisan ini adalah copy-paste belaka. Seseorang yang hebat telah menorehkannya di FB.

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya, akan sering merasa kangen sekali dengan... mamanya.

Lalu bagaimana dengan Papa?

Mungkin karena Mama yang lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari. Tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng. Tapi tahukah kamu, bahwa sepulang bekerja dan dengan wajah lelah, Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil.. Papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah mengganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu...

Kemudian Mama bilang : "Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya"
Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka....

Tapi sadarkah kamu?

Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.

Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba. Tetapi Papa akan mengatakan dengan tegas : "Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang"

Tahukah kamu, Papa melakukan itu karena Papa tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?

Saat kamu sakit pilek, Papa yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : "Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!". Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut. Ketahuilah, saat itu Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.

Ketika kamu sudah beranjak remaja....
Kamu mulai menuntut pada Papa untuk dapat izin keluar malam. Papa bersikap tegas dan mengatakan: "Tidak boleh!".

Tahukah kamu, bahwa Papa melakukan itu untuk menjagamu? Karena bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sangat - sangat luar biasa berharga..

Setelah itu kamu marah pada Papa, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu... Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Mama....
Tahukah kamu, bahwa saat itu Papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, bahwa Papa sangat ingin mengikuti keinginanmu, tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?

Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, Papa akan memasang wajah paling cool sedunia.... :')
Papa sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu..
Sadarkah kamu, kalau hati Papa merasa cemburu?

Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Papa melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.
Maka yang dilakukan Papa adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir...dan setelah perasaan khawatir itu berlarut- larut... ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Papa akan mengeras dan Papa memarahimu.. .

Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Papa akan segera datang? "Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Papa"
Setelah lulus SMA, Papa akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur. Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Papa itu semata - mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti...

Tapi toh Papa tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Papa

Ketika kamu menjadi gadis dewasa.... dan kamu harus pergi kuliah dikota lain... Papa harus melepasmu di bandara.

Tahukah kamu bahwa badan Papa terasa kaku untuk memelukmu?

Papa hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini - itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. .

Padahal Papa ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat.

Yang Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata "Jaga dirimu baik-baik ya sayang". Papa melakukan itu semua agar kamu KUAT...kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.

Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Papa. Papa pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.


Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Papa tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan...
Kata-kata yang keluar dari mulut Papa adalah : "Tidak.... Tidak bisa!" Padahal dalam batin Papa, Ia sangat ingin mengatakan "Iya sayang, nanti Papa belikan untukmu".

Tahukah kamu bahwa pada saat itu Papa merasa gagal membuat anaknya tersenyum?

Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.

Papa adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu. Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat "putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang" Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Papa untuk mengambilmu darinya.

Papa akan sangat berhati-hati memberikan izin..
Karena Papa tahu.....
Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.

Dan akhirnya.... Saat Papa melihatmu duduk di Panggung Pelaminan
bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Papa
pun tersenyum bahagia....

Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Papa pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?

Papa menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Papa berdoa.... Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Papa berkata: "Ya Tuhan tugasku telah selesai dengan baik.... Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik.... Bahagiakanlah ia bersama suaminya..."

Setelah itu Papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk... Dengan rambut yang telah dan semakin memutih.... Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya....

Papa telah menyelesaikan tugasnya....



Papa, Ayah, Bapak, atau Abah kita... Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat... Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis...

Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .

Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa "KAMU BISA" dalam segala hal..

Meskipun tulisan ini lebih diperuntukkan pada anak perempuan, bukan berarti tidak ada makna bagi anak laki-laki. Inilah sesungguhnya bapak kita yang kadang kita benci.
Apakah kalian mempercayainya ?
Tulisan ini jauh akan lebih berharga jika kalian menyebarkan kepada kawan-kawan lain..

I love you dad....
Hanya ini yang saya bisa katakan. Meskipun aku belum bisa membanggakan dan membahagiakanmu, sebagai anakmu, aku akan tetap berusaha..

Rabu, 02 Desember 2009

Kupu-Kupu Malam

Pengalaman bekerja di DetEksi Jawa Pos menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya. Di kantor yang jam bukanya melebihi gerai fast food 24 hours tetangganya itu, saya belajar segalanya. Bukan hanya hard skill maupun soft skill. Namun, juga belajar, tentang bagaimana cara belajar yang benar.

Sama dengan pekerja yang lainnya, saya memulai karir sebagai “tukang” polling. Pekerjaannya terbilang mudah, sih. Cukup membawa kembali lima puluh kuisioner yang sudah diisi oleh sekitar lima puluh siswa SMA maupun SMP di Surabaya. Percaya tidak, tak ada yang mengalahkan asyiknya berkeliling kota. Apalagi bertemu dengan anak-anak muda makin membuat saya, yang mendapat julukan muka boros ini, berjiwa muda.

Setahun pertama di sana, saya diberi kesempatan mengikuti latihan penulis. Dan hasilnya, voila!. Saya menjadi penulis dua bulan kemudian. Di saat yang sama dengan beban semester tinggi (semester 4 ke-atas), saya masih harus berkutat dengan deadline tiap harinya. Celoteh pedas editor menjadi santapan sehari-hari.

Semenjak itu, saya merasa ada perubahan drastis. Khususnya pada otak dan perasaan saya. Dulu, saya sering mencampuradukkan pikiran dan perasaan. Terkena masalah sedikit, yang berperan malah hati. Semenjak menjadi penulis, yang mengatur adalah otak. Nah, biar lebih sopan, mari kita gunakan bahasa cerebrum. Setuju? He he.

Cerebrum diciptakan untuk mengirimkan sinyal dari dalam menuju ke luar otak. Fungsi sinyal ini adalah sebagai perintah untuk memerintahkan anggota tubuh lain bekerja sesuai keinginan cerebrum. Mengetik esay ini, misalnya, adalah sinyal yang dirintis oleh cerebrum menuju ujung jari. Bisa dibilang bagian atas, yakni cerebrum, memegang kendali

Dulu, saya termasuk orang dengan cerebrum pas-pasan. Sebelum masuk DetEksi, kantor sinting itu, saya menerapkan prinsip kupu-kupu. Kuliah Pulang Kuliah Pulang. Semenjak berada di sana, saya merasa ada suatu hal yang lebih excited ketimbang kupu-kupu. Apa itu? Jawabannya adalah kupu-kupu malam. Kuliah pulang malam, kuliah pulang malam.

Maksudnya, pindah ke perguruan tinggi yang menawarkan kuliah malam? Bukan!. Tapi setelah kuliah di siang hari, saya bekerja malamnya. Terkadang pulangnya pagi hari, mengalahkan orang kulakan ke pasar. Status itu masih berubah terkadang, belum sering. Walau ketika DetEksi sedang menggelar event, dan biasanya skala besar, saya dan “keluarga baru” di kantor itu mendapatkan jatah lembur habis-habisan. Bolehlah dibilang standar saya naik perlahan.

Dari yang semula mahasiswa yang berkutat tugas dan elemen lain seperti teman, menjadi seorang pekerja yang dituntut output bagus oleh atasan. Yang semula berleha-leha jika malam tiba, menjadi pasukan antimalas di kantor. Dan ini yang terpenting. Dari yang semula berjatah liburan tetap di akhir minggu, menjadi orang yang multi tasking saat weekend tiba.

Luar biasa.
Saya berterimakasih pada tantangan tersebut. Tanpanya, saya bukan apa-apa. Tanpanya, saya masih mahasiswa berstatus nasakom (saat itu, IP sempat jeblog. Penyebabnya tidak pandai membagi waktu), menjadi mahasiswa bertitel lumayan. IP, alhamdulillah, meningkat. Dan pesat. Rupanya, penempaan dua tahun tersebut membuahkan hasil.

Hasil tersebut tidak main-main. Ini masih konteks berusaha. Saya sekarang berusaha untuk menjaga agar standar saya tidak merosot. Biarlah digojloki teman sekitar manusia super sibuk. Tapi, saya percaya, tantangan berpenampakkan kesibukan ini adalah jalan peretas masa depan yang cerah.

Jumat, 27 November 2009

Ikatan Batin Terpendam


Sahabat cewek saya mengirimkan sebuah SMS tadi sore. SMS itu bernada tawaran magang di salah satu kantor search operator legendaris di Indonesia. Tawaran itu sudah diajukannya semenjak saya masih berancang-ancang keluar dari kantor lama.


Dia bilang, saya bakal punya banyak dan banyak sekali waktu untuk menggeluti aktivitas padat macam magang ini setelah mengundurkan diri dari kantor, tempat mengabdi dua tahun belakangan.


Saya pikir dia benar. Teman dekat saya sejak tiga tahun silam itu memang pernah bekerja di kantor yang sama dengan saya. Jabatannnya pun sama. Meski “cuman” bergelar penulis, namun saya berani kasih empat jempol untuknya.


Dia tak perlu berjuang keras untuk meniti karir di sana. Saat SMA, dia pernah memenangkan salah satu kompetisi gelaran kantor saya. Selepas masa abu-abu, dia pun ditawari untuk bekerja di sana. Beda 540 derajat dengan saya. Harus memutar otak semalam suntuk, mengarang tampilan CV agar bisa memikat petinggi kantor. Walau akhirnya, kelihaian menjawab dan performance saat tes wawancaralah yang menentukan kami. He he he.


Tawaran magang itu membuat saya bergumam. Mampu apa, mengalihkan perhatian dari kantor yang jam bukanya mengalahkan restoran cepat saji 24 hours di sebelahnya, menjadi pegawai berlabel magang yang lebih mirip siswa SMK. Ups, maaf, but that’s fact. Bukannya merendahkan, tapi kerjaannya pun belum pasti. Ranahnya yang berbeda pula.


Semula bekerja di media, kini public relations magangan. Semula bergelut dengan naskah dan deadline, sekarang harus berani maju dengan strategi komunikasi organisasi jitu. Sama-sama bakal berurusan dengan koran, sih. Tapi dulu, saya menjadi salah satu pengisi rubriknya. Nanti, menjadi pengamat koran yang lebih mirip pengangguran. Mencari berita apa yang menyangkut perusahaan tempat saya bakal naungi. Yang bagus, hingga jelek, atau bahkan jelek sekali,


Bukan!. Saya bukan seperti kucing melihat air saat ditawari magang di situ. Justru, beberapa pertanyaan menggelitik muncul di benak saya. Apakah pekerjaan ini bakal semenantangnya saat saya bekerja di DetEksi. Apakah saya akan mendapatkan keluarga dan bukan rekan kerja yang egois dan bekerja dengan gaya katak, tendang kanan-kiri demi kenaikan pangkat.

***

Bekerja di DetEksi, seperti saya bilang tadi, berawal dari sebuah feeling. Yang merasa punya nyali, dia yang mengirimkan CV. Yang merasa keren, dia yang berusaha lolos tes tiap tes. Yang pengin maju, dia yang bertahan ketika event berat berjalan. Dari situlah timbul seleksi alam untuk melihat siapakah yang sanggup berpegangan pada prinsip awal, atau tidak.


It started out as a feeling
Which then grew into a hope
Which then turned into a quiet thought
Which then turned into a quiet word


` Dan saat event itu semakin tumbuh, berkembang ke segala arah, kami pun ada di dalamnya. Setiap orang masing-masing ikut tumbuh dewasa bersamannya. Nggak ada ceritanya, satu orang ngedumel sendiri dengan masalahnya. Yang ada, sebuah forum kecil bersama teman-teman yang selalu menyelamatkan kami. Entah dari persepsi buruk tentang siapapun (terutama atasan) atau bahkan kepenatan saat kerja.


And then that word grew louder and louder
'Til it was a battle cry
I'll come back
When you call me
No need to say goodbye

Perjalanan saya memang sudah berakhir di sana. Di tempat yang saya idamkan selama masa putih abu-abu, saya berusaha untuk mengabdikan pikiran, jiwa, sampai perasaan. Di sana pulalah, saya belajar banyak. Bahkan juga belajar untuk belajar yang baik dari seseorang tentang sebuah ilmu yang bagus.


Just because everything's changing
Doesn't mean it's never been this way before
All you can do is try to know who your friends are
As you head off to the war


Berarti, saya boleh simpulkan, ada sebuah ikatan batin antara saya dengan mereka. Antara saya dengan kantor yang luasnya empat kali rumah saya itu. Bahkan, antara saya dengan setiap komputer di dalamnya. Karena setiap hari saya dan keluarga baru saya itu, berkutat dengan hal-hal itu saja.


Pick a star on the dark horizon
And follow the light
You'll come back when it's over
No need to say goodbye
`


The Call by Regina Spektor,

-OST Narnia Prince Of Caspian-


Berarti, saya tidak butuh kata berpisah dari mereka. Wong, saya masih “cinta” dengan kantor itu. Cuma caranya saja yang berbeda dengan mereka yang masih setia di sana. (*)

Powered By Blogger